Kamis, 24 Maret 2011

INDUSTRIALISASI

BAB I
PENDAHULUAN
Pengalaman beberapa negara berkembang khususnya negara-negara yang gandrung memakai teknologi dalam industri yang ditransfer dari negara-negara maju (core industry) untuk pembangunan ekonominya seringkali berakibat pada terjadinya distorsi tujuan. Keadaan ini terjadi karena aspek-aspek dasar dari manfaat teknologi bukannya dinikmati oleh negara importir, tetapi memakmurkan negara pengekpor atau pembuat teknologi. Negara pengadopsi hanya menjadi komsumen dan ladang pembuangan produk teknologi karena tingginya tingkat ketergantungan akan suplai berbagai jenis produk teknologi dan industri dari negara maju Alasan umum yang digunakan oleh negara-negara berkembang dalam mengadopsi teknologi (iptek) dan industri, searah dengan pemikiran Alfin Toffler maupun John Naisbitt yang meyebutkan bahwa untuk masuk dalam era globalisasi dalam ekonomi dan era informasi harus melewati gelombang agraris dan industrialis. Hal ini didukung oleh itikad pelaku pembangunan di negara-negara untuk beranjak dari satu tahapan pembangunan ke tahapan pembangunan berikutnya.

BAB II
Isi
Industri adalah bidang matapencaharian yang menggunakan ketrampilan dan ketekunan kerja (bahasa Inggris: industrious) dan penggunaan alat-alat di bidang pengolahan hasil-hasil bumi dan distribusinya sebagai dasarnya. Maka industri umumnya dikenal sebagai mata rantai selanjutnya dari usaha-usaha mencukupi kebutuhan (ekonomi) yang berhubungan dengan bumi, yaitu sesudah pertanian, perkebunan dan pertambangan yang berhubungan erat dengan tanah. Kedudukan industri semakin jauh dari tanah, yang merupakan basis ekonomi, budaya dan politik.
Sejarah
Industri berawal dari pekerjaan tukang atau juru. Sesudah matapencaharian hidup berpindah-pindah sebagai pemetik hasil bumi, pemburu dan nelayan di zaman purba, manusia tinggal menetap, membangun rumah dan mengolah tanah dengan bertani dan berkebun serta beternak. Kebutuhan mereka berkembang misalnya untuk mendapatkan alat pemetik hasil bumi, alat berburu, alat menangkap ikan, alat bertani, berkebun, alat untuk menambang sesuatu, bahkan alat untuk berperang serta alat-alat rumah tangga. Para tukang dan juru timbul sebagai sumber alat-alat dan barang-barang yang diperlukan itu. Dari situ mulailah berkembang kerajinan dan pertukangan yang menghasilkan barang-barang kebutuhan. Untuk menjadi pengrajin dan tukang yang baik diadakan pola pendidikan magang, dan untuk menjaga mutu hasil kerajinan dan pertukangan di Eropa dibentuk berbagai gilda (perhimpunan tukang dan juru sebagai cikal bakal berbagai asosiasi sekarang).
Pertambangan besi dan baja mengalami kemajuan pesat pada abad pertengahan. Selanjutnya pertambangan bahan bakar seperti batubara, minyak bumi dan gas maju pesat pula. Kedua hal itu memacu kemajuan teknologi permesinan, dimulai dengan penemuan mesin uap yang selanjutnya membuka jalan pada pembuatan dan perdagangan barang secara besar-besaran dan massal pada akhir abad 18 dan awal abad 19. Mulanya timbul pabrik-pabrik tekstil (Lille dan Manchester) dan kereta api, lalu industri baja (Essen) dan galangan kapal, pabrik mobil (Detroit), pabrik alumunium. Dari kebutuhan akan pewarnaan dalam pabrik-pabrik tekstil berkembang industri kimia dan farmasi. Terjadilah Revolusi Industri.
Sejak itu gelombang industrialisasi berupa pendirian pabrik-pabrik produksi barang secara massal, pemanfaatan tenaga buruh, dengan cepat melanda seluruh dunia, berbenturan dengan upaya tradisional di bidang pertanian (agrikultur). Sejak itu timbul berbagai penggolongan ragam industri.
Cabang-cabang industri
Berikut adalah berbagai industri yang ada di Indonesia:
• Makanan dan minuman
• Tembakau
• Tekstil
• Pakaian jadi
• Kulit dan barang dari kulit
• Kayu, barang dari kayu, dan anyaman
• Kertas dan barang dari kertas
• Penerbitan, percetakan, dan reproduksi
• Batu bara, minyak dan gas bumi, dan bahan bakar dari nuklir
• Kimia dan barang-barang dari bahan kimia
• Karet dan barang-barang dari plastik
• Barang galian bukan logam
• Logam dasar
• Barang-barang dari logam dan peralatannya
• Mesin dan perlengkapannya
• Peralatan kantor, akuntansi, dan pengolahan data
• Mesin listrik lainnya dan perlengkapannya
• Radio, televisi, dan peralatan komunikasi
• Peralatan kedokteran, alat ukur, navigasi, optik, dan jam
• Kendaraan bermotor
• Alat angkutan lainnya
• Furniture dan industri pengolahan lainnya
Klasifikasi berdasarkan SK Menteri Perindustrian No.19/M/I/1986
1. Industri kimia dasar : misalnya industri semen, obat-obatan, kertas, pupuk, dsb
2. Industri mesin dan logam dasar : misalnya industri pesawat terbang, kendaraan bermotor, tekstil, dll
3. Industri kecil : industri roti, kompor minyak, makanan ringan, es, minyak goreng curah, dll
4. Aneka industri : industri pakaian, industri makanan dan minuman, dan lain-lain.
Revolusi Industri adalah perubahan teknologi, sosioekonomi, dan budaya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang terjadi dengan penggantian ekonomi yang berdasarkan pekerja menjadi yang didominasi oleh industri dan diproduksi mesin. Revolusi ini dimulai di Inggris dengan perkenalan mesin uap (dengan menggunakan batu bara sebagai bahan bakar) dan ditenagai oleh mesin (terutama dalam produksi tekstil). Perkembangan peralatan mesin logam-keseluruhan pada dua dekade pertama dari abad ke-19 membuat produk mesin produksi untuk digunakan di industri lainnya.
Awal mula Revolusi Industri tidak jelas tetapi T.S. Ashton menulisnya kira-kira 1760-1830. Tidak ada titik pemisah dengan Revolusi Industri II pada sekitar tahun 1850, ketika kemajuan teknologi dan ekonomi mendapatkan momentum dengan perkembangan kapal tenaga-uap, rel, dan kemudian di akhir abad tersebut perkembangan mesin bakar dalam dan perkembangan pembangkit tenaga listrik
Faktor yang melatar belakangi terjadinya Revolusi Industri adalah terjadinya revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke 16 dengan munculnya para ilmuwan seperti Francis Bacon, Rene Decartes, Galileo Galilei serta adanya pengembangan riset dan penelitian dengan pendirian lembaga riset seperti The Royal Improving Knowledge, The Royal Society of England, dan The French Academy of Science. Adapula faktor dari dalam seperti ketahanan politik dalam negeri, perkembangan kegiatan wiraswasta, jajahan Inggris yang luas dan kaya akan sumber daya alam.
Efek budayanya menyebar ke seluruh Eropa Barat dan Amerika Utara, kemudian memengaruhi seluruh dunia. Efek dari perubahan ini di masyarakat sangat besar dan seringkali dibandingkan dengan revolusi kebudayaan pada masa Neolitikum ketika pertanian mulai dilakukan dan membentuk peradaban, menggantikan kehidupan nomadik.
Istilah "Revolusi Industri" diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis-Auguste Blanqui di pertengahan abad ke-19.
Dampak Sosial
Buruh anak banyak ditemukan pada masa Revolusi Industri, walaupun sebelum masa Revolusi Industri telah berkembang. Anak - anak dipaksa bekerja dengan gaji yang kecil dan pendidikan yang minim. Beberapa jenis kekerasan juga terjadi di tambang batu bara dan industri tekstil. Kejadian ini terus terjadi hingga terbentuknya undang - undang pabrik Factory Acts di tahun 1833 dan 1844 yang melarang anak dibawah 9 tahun untuk bekerja, anak dilarang bekerja pada malam hari dan jam kerja 12 jam per hari untuk anak dibawah 18 tahun.
Tempat tinggal pada masa Revolusi Industri beraneka ragam dari kondisi rumah yang sangat baik dan pemilik yang makmur hingga perumahan sempit di daerah perkumuhan. Rumah kumuh ini menggunakan toilet bersama serta keadaan lingkungan yang kurang bersih. Berbagai macam penyakit juga kerap terjadi seperti wabah kolera, cacar air.
Dampak Industrialisasi Indonesia
Pada dewasa ini yang menjadi bahan perdebatan adalah bagaimana menyusun suatu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Semakin meningkatnya populasi manusia mengakibatkan tingkat konsumsi produk dan energi meningkat juga. Permasalahan ini ditambah dengan ketergantungan penggunaan energi dan bahan baku yang tidak dapat diperbarui. Pada awal perkembangan pembangunan, industri dibangun sebagai suatu unit proses yang tersendiri, terpisah dengan industri lain dan lingkungan. Proses industri ini menghasilkan produk, produk samping dan limbah yang dibuang ke lingkungan.
Persoalannya kemudian, pada era dewasa ini, apa pun sektor usaha yang dibangkitkan oleh sebuah bangsa maupun kota harus mampu siap bersaing pada tingkat global. Walaupun sebenarnya apa yang disebut dengan globalisasi baru dapat dikatakan benar-benar hadir dihadapan kita ketika kita tidak lagi dapat mengatakan adanya produk-produk, teknologi, korporasi, dan industri-industri nasional. Dan, aset utama yang masih tersisa dari suatu bangsa adalah keahlian dan wawasan rakyatnya, yang pada gilirannya akan mengungkapkan kemampuan suatu bangsa dalam membangun keunggulan organisasi produksi dan organisasi dunia kerjanya.
Tetapi akibat tindakan penyesuaian yang harus dipenuhi dalam memenuhi permintaan akan berbagai jenis sumber daya (resources), agar proses industri dapat menghasilkan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia, seringkali harus mengorbankan ekologi dan lingkungan hidup manusia. Hal ini dapat kita lihat dari pesatnya perkembangan berbagai industri yang dibangun dalam rangka peningkatan pendapatan (devisa) negara dan pemenuhan berbagai produk yang dibutuhkan oleh manusia.
Teknologi memungkinkan negara-negara tropis (terutama negara berkembang) untuk memanfaatkan kekayaan hutan alamnya dalam rangka meningkatkan sumber devisa negara dan berbagai pembiayaan pembangunan, tetapi akibat yang ditimbulkannya merusak hutan tropis sekaligus berbagai jenis tanaman berkhasiat obat dan beragam jenis fauna yang langka.
Gejala memanasnya bola bumi akibat efek rumah kaca (greenhouse effect) akibat menipisnya lapisan ozone, menciutnya luas hutan tropis, dan meluasnya gurun, serta melumernnya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran lingkungan kerena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak seimbang (Toruan, dalam Jakob Oetama, 1990: 16 - 20).
Kasus Indonesia Indonesia memang negara “late corner” dalam proses industrialisasi di kawasan Pasifik, dan dibandingkan beberapa negara di kawasan ini kemampuan teknologinya juga masih terbelakang.
Terlepas dari berbagai keberhasilan pembangunan yang disumbangkan oleh teknologi dan sektor indusri di Indonesia, sesungguhnya telah terjadi kemerosotan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran lingkungan, khususnya pada kota-kota yang sedang berkembang seperti Gresik, Surabaya, Jakarta, bandung Lhoksumawe, Medan, dan sebagainya. Bahkan hampir seluruh daerah di Jawa telah ikut mengalami peningkatan suhu udara, sehingga banyak penduduk yang merasakan kegerahan walaupun di daerah tersebut tergolong berhawa sejuk dan tidak pesat industrinya.
Masalah pencemaran lingkungan hidup, secara teknis telah didefinisikan dalam UU No. 4 Tahun 1982, yakni masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannya.
Dari definisi yang panjang tersebut, terdapat tiga unsur dalam pencemaran, yaitu: sumber perubahan oleh kegiatan manusia atau proses alam, bentuk perubahannya adalah berubahnya konsentrasi suatu bahan (hidup/mati) pada lingkungan, dan merosotnya fungsi lingkungan dalam menunjang kehidupan.
Pencemaran dapat diklasifikasikan dalam bermacam-macam bentuk menurut pola pengelompokannya. Berkaitan dengan itu, Amsyari (Sudjana dan Burhan (ed.), 1996: 102), mengelompokkan pecemaran alas dasar: a).bahan pencemar yang menghasilkan bentuk pencemaran biologis, kimiawi, fisik, dan budaya, b). pengelompokan menurut medium lingkungan menghasilkan bentuk pencemaran udara, air, tanah, makanan, dan sosial, c). pengelompokan menurut sifat sumber menghasilkan pencemaran dalam bentuk primer dan sekunder. Struktur industri menggambarkan bagaimana industri diorganisasikan. Hal ini terkait dengan hubungan dari (a) sesama produsen (b) sesama konsumen (c) produsen dan konsumen, dan (d) produsen yang telah ada terhadap produsen baru yang masuk ke pasar (Bain 1968). Menurut teori ekonomi industri, struktur industri menentukan tingkat kompetisi dan merupakan faktor yang berpengaruh pada perilaku dan kinerja dari suatu industri (perusahaan-perusahaan yang ada dalam industri). Oleh karenanya, analisa struktur industri merupakan pijakan awal untuk mengkaji suatu industri.
Struktur industri didefinisikan dalam terminologi distribusi jumlah dan ukuran dari perusahaan-perusahaan yang ada dalam industri (Bain 1968). Struktur industri merupakan cerminan dari struktur pasar suatu industri (Kuncoro 2007). Dalam studi empiris mengenai struktur industri, digunakan pengukuran konsentrasi untuk mengukur intensitas dari persaingan dalam industri. Konsentrasi industri ini menginformasikan ukuran relatif dari perusahaan-perusahaan yang ada pada pasar (Jacobson 1996). Terdapat beberapa alat pengukuran konsentrasi yang umum dipergunakan untuk menggambarkan distribusi dari pangsa pasar di antara perusahaan-perusahaan yang ada dalam industri, yaitu: Rasio Konsentrasi, Indeks Herfindhal, dan Koefisien Gini.
Rasio Konsentrasi
Rasio Konsentrasi (concentration ratio, CR) secara luas dipergunakan untuk mengukur pangsa dari output, turnover, value added, jumlah pegawai atau nilai asset dari total industri. Biasanya jumlah perusahaan N yang dihitung proporsi pangsa pasarnya adalah 4, sehingga dikenal sebagai CR4. Jika Pi mewakili pangsa pasar, dan jika proporsi dari output, turnover, value added, jumlah pegawai atau nilai asset dari total industri yang diwakili oleh perusahaan i = 1,2, …, dengan P1 >= P2 >= P3 >= …, maka Concentration Ratio, CRN, untuk N perusahaan dihitung sebagai:
CRN = P1 + P2 + P3 + … + PN
Rasio konsentrasi berkisar antara nol hingga satu dan biasanya dinyatakan dalam persentase. Nilai konsentrasi yang mendekati angka nol mengindikasikan bahwa sejumlah n perusahaan memiliki pangsa pasar yang relatif kecil. Sebaliknya, angka rasio konsentrasi yang mendekati satu mengindikasikan tingkat konsentrasi yang relatif tinggi. CRN sangatlah tergantung pada jumlah keseluruhan perusahaan yang ada dalam industri. CRN akan menurun jika jumlah perusahaan dalam industri meningkat. CRN dapat memberikan gambaran tentang peran n perusahaan yang ada dalam industri, namun demikian CRN tidak cukup dapat memberikan informasi mengenai keterkaitan antar perusahaan di dalam industri.
Sebagaimana dikemukakan di atas, CR4 yang mewakili empat perusahaan dengan pangsa pasar paling besar, adalah rasio konsentrasi yang banyak dipergunakan. Beberapa kategori pasar dapat didefinisikan dengan menggunakan CR4 untuk menggambarkan tingkat kompetisi sebagaimana ditampilkan dalam gambar di bawah.
Yang paling ekstrem adalah perfect competition dalam hal mana banyak perusahaan dengan pangsa pasar masing-masing yang relatif kecil, dan monopoly dalam hal mana satu perusahaan memiliki 100 persen pangsa pasar. Kompetisi dan jumlah perusahaan adalah besar pada perfect competition dan sedikit pada monopoly.
Pada perfect competition, terdapat banyak perusahaan, sehingga individu perusahaan tidak dapat mengendalikan harga. Perusahaan-perusahaan menghasilkan produk yang homogen, dan pembeli mengetahui harga dan dan memiliki informasi. Tidak ada entry dan exit barriers pada perfect competition. Sebaliknya, pada monopoly, hanya ada satu perusahaan yang menjual produk kepada banyak pembeli dan tidak ada produsen baru yang dapat memasuki pasar, dengan demikian perusahaan ini memiliki kekuatan monopoly.
Angka CR4 yang tinggi akan menunjukkan bahwa pasar didominasi oleh sejumlah kecil perusahaan, yang berarti bentuk struktur oligopoly. Pada struktur oligopoly, produsen besar dapat mempengaruhi harga dengan cara mengendalikan output produksi. Terdapat tingkatan oligopoly, mulai dari moderately concentrated oligopolistic markets hingga highly concentrated oligopolies, yang mengindikasikan tingkat rendah hingga tinggi dari pengaruh pasar.
Semakin rendah CR4, semakin dekat pasar pada kondisi perfectly competitive.
Indeks Herfindhal (H)
Indeks Herfindhal adalah jenis ukuran konsentrasi lain yang cukup penting. Indeks Herfindhal dedefinisikan sebagai jumlah pangkat dua pangsa pasar dari seluruh perusahaan yang ada dalam industri, dan diformulasikan:
H = P1^2 + P2^2 + P3^2 + … + PN^2
Nilai H akan berkisar dari nol hingga satu. Nilai H akan sama dengan 1/n jika terdapat n perusahaan yang mempunyai ukuran yang sama. Jika H mendekati nol, maka akan berarti terdapat sejumlah besar perusahaan dengan ukuran usaha yang hampir sama dalam industri, dan konsentrasi pasar adalah rendah. Sebaliknya, industri bersifat monopoly jika H sama dengan satu. Semakin tinggi H, semakin tinggi disribusi ukuran dari perusahaan. The Federal Trade and Commission in the US menetapkan bahwa pasar terkategori highly concentrated jika nilai H lebih besar dari 0.18 (Chiang 2001).
Kurva Lorenz dan Koefisien Gini
Pendekatan lain untuk melihat konsentrasi industri adalah dengan menggunakan pemetaan Kurva Lorenz dan penghitungan Koefisien Gini (Adelaja, dkk. 1998, Wang 2004). Kurva Lorenz dan Koefisien Gini dipergunakan untuk mengukur dan membandingkan inequality dari perusahaan-perusahaan di dalam industri. Kurva Lorenz dan Koefisien Gini mengindikasikan tingkat kompetisi dalam suatu pasar dengan mengukur inequality dalam distribusi ukuran dari perusahaan-perusahaan (Hart and Prais 1956).
Koefisien Gini adalah ukuran statistik yang diperoleh dari Kurva Lorenz, yang terkait dengan pangsa kumulatif dari total nilai suatu variabel (output, revenue, jumlah pekerja, dsb.) terhadap angka atau persentase dari perusahaan-perusahaan yang ada dalam suatu industri yang diurutkan meningkat sesuai ukurannya. Jika kurva berbentuk lurus, seluruh perusahaan memiliki ukuran yang sama, dan industri dapat dipandang sebagai completely unconcentrated, mengindikasikan tingkat kompetisi yang tinggi di pasar. Secara umum, perusahaan-perusahaan tidak mempunyai ukuran yang sama dalam suatu industri, dan semakin besar deviasi dari garis diagonal terhadap Kurva Lorenz, semakin besar inequality dari ukuran perusahaan dan semakin besar konsentrasi pasar. Sebaliknya, semakin dekat kepada garis diagonal, semakin terdistribusi dan perusahaan-perusahaan semakin tidak terkonsentrasi.
Koefisien Gini didefinisikan sebagai sebagai rasio dari luasan yang terletak di antara garis diagonal dan Kurva Lorenz dibagi dengan luasan segitiga di bawah garis diagonal. Nilai maksimum dan minimum adalah satu dan nol, berturut-turut mewakili total inequality dan total equality.
Jika luasan di antara garis diagonal (perfect equality) dan Kurva Lorenz adalah A, dan luasan di bawah Kurva Lorenz adalah B, maka Koefisien Gini adalah A / (A+B). Karena A+B = 0.5, maka Koefisien Gini, G = A/(0.5) = 2A = 1-2B. Jika Kurva Lorenz merupakan fungsi Y = L(X), nilai dari B dapat dicari dengan fungsi integral, sehingga:
G = 1 – 2*(integral 0-1 dari L(X)dX)
Kurva Lorenz dapat dituliskan sebagai fungsi L(F), dalam hal mana F adalah sumbu horizontal, dan L adalah sumbu vertikal. Untuk populasi berukuran n, dengan urutan nilai yi i=1 hingga n yang diurutkan meningkat (yi <= yi+1), maka Kurva Lorenz adalah fungsi linier yang menghubungkan titik-titik (Fi, Li), i = 0 hingga n, dalam hal mana F0 = 0, L0 = 0, dan untuk i = 0 hingga n:
Fi = i/n
Si = Yj1 + Yj2 + … + Yji
Li = Si/Sn

BAB III
KESIMPULAN
Adanya sejumlah limbah yang dihasilkan dari proses produksi, mengharuskan industri menambah investasi untuk memasang unit tambahan untuk mengolah limbah hasil proses sebelum dibuang ke lingkungan. Pengendalian pencemaran lingkungan dengan cara pengolahan limbah (pendekatan end of pipe) menjadi sangat mahal dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan ketika jumlah industri semakin banyak, daya dukung alam semakin terbatas, dan sumber daya alam semakin menipis. Jadi kita harus menjaga lingkungan alam semesta kita dengan baik.

SUMBER : WIKIPEDIA

Rabu, 23 Maret 2011

SEKTOR PERTANIAN

BAB I
Pendahuluan

Menghangatnya kembali diskursus globalisasi dalam bangsa yang aneh
ini, cukup tepat untuk direspon, karena sejatinya struktur dan cultur bangsa
ini masih patut dipertanyakan kelayakan dan kesiapannya dalam menghadapi
globalisasi. Kenapa bangsa ini dikatakan aneh? Karena bangsa yang secara
sah telah menyatakan keterlibatannya dalam globalisasi (baca: perdagangan
bebas) ini masih tetap tampak santai dan tidak responsif atas manuper politik
negara pesaing pra-globalisasi. Borok dan kelemahan bangsa yang masih
kentara disana sini, baik pada human capital, supporting institution, maupun
natural resources sepertinya enggan untuk dieliminasi oleh para pelaku
kebijakan.
Anehnya lagi, diskursus globalisasi di Indonesia pada kenyataannya
hanya marak pada tataran wacananya, sementara pasca legalisasi, entitas
ekonomi ini “sepi” seperti tidak mengerti atas substansi dan implikasi
globalisasi. Mungkinkah bangsa ini terlalu pede dengan kekayaan alamnya,
atau jangan-jangan kita ini memang terkena sindrom local community AIDS
(Stohr, 1990). Tetapi “Tidak” kata para ekonom, karena sesungguhnya
globalisasi memberikan peluang yang sama kepada semua negara (kayamiskin,
utara-selatan, timur-barat, dsb) untuk menjadi kuat dan kaya. Tetapi
harus ingat kata para sosiolog, bahwa globalisasi yang berpijak di atas
kapitalisme juga berpeluang bagi meningkatnya kesenjangan dalam relasi
dualisme tersebut.
Indonesia adalah negara kaya raya, untuk itu wajar jika eksistensinya
akan selalu menjadi pusat perhatian dan perburuan negara maju yang miskin
sumberdaya alam. Indonesia diprediksi mampu menjadi negara terkaya Ke-5
di dunia, jika mampu menggali secara optimal dan mengatur pengeluarannya
(Pikiran Rakyat, 8 April 2004). Optimisme tersebut jauh sebelumnya pun
diketahui semua negara maju, untuk itu mereka yang merasa terancam akan
senantiasa menciptakan kondisi dan situasi yang tidak mendukung ke arah
itu. Instabilitas politik dan eksploitasi sumberdaya dalam mendorong
kelangkaan akan semakin menggejala di era globalisasi.
Indonesia adalah ladang investasi yang potensial. Oleh karena itu neokolonialisme
akan senantiasa mencengkram. Jika strateginya tidak bisa
seperti Spanyol yang membabat habis Suku Indian, atau Inggris atas Suku
Aborigin, maka mereka akan mengandalkan TNCs dan kaum borjuis puritan
untuk menguasai Indonesia. Agar kita tidak menjadi budak, buruh, kuli.
Untuk itu, kita harus memahami secara pasti arus pemikiran
globalisasi yang sesungguhnya, termasuk implikasi jangka pendek dan jangka panjangnya

BAB II
ISI
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.
Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto.
Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya. Inti dari ilmu-ilmu pertanian adalah biologi dan ekonomi. Karena pertanian selalu terikat dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanah, meteorologi, permesinan pertanian, biokimia, dan statistika, juga dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh "petani tembakau" atau "petani ikan". Pelaku budidaya hewan ternak (livestock) secara khusus disebut sebagai peternak.
Cakupan pertanian
Pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup (termasuk tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk kepentingan manusia. Dalam arti sempit, pertanian juga diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan sebidang lahan untuk membudidayakan jenis tanaman tertentu, terutama yang bersifat semusim.
Usaha pertanian diberi nama khusus untuk subjek usaha tani tertentu. Kehutanan adalah usaha tani dengan subjek tumbuhan (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang setengah liar atau liar (hutan). Peternakan menggunakan subjek hewan darat kering (khususnya semua vertebrata kecuali ikan dan amfibia) atau serangga (misalnya lebah). Perikanan memiliki subjek hewan perairan (termasuk amfibia dan semua non-vertebrata air). Suatu usaha pertanian dapat melibatkan berbagai subjek ini bersama-sama dengan alasan efisiensi dan peningkatan keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek konservasi sumber daya alam juga menjadi bagian dalam usaha pertanian.
Semua usaha pertanian pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi sehingga memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang sama akan pengelolaan tempat usaha, pemilihan benih/bibit, metode budidaya, pengumpulan hasil, distribusi produk, pengolahan dan pengemasan produk, dan pemasaran. Apabila seorang petani memandang semua aspek ini dengan pertimbangan efisiensi untuk mencapai keuntungan maksimal maka ia melakukan pertanian intensif (intensive farming). Usaha pertanian yang dipandang dengan cara ini dikenal sebagai agribisnis. Program dan kebijakan yang mengarahkan usaha pertanian ke cara pandang demikian dikenal sebagai intensifikasi. Karena pertanian industrial selalu menerapkan pertanian intensif, keduanya sering kali disamakan.
Sisi yang berseberangan dengan pertanian industrial adalah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan, dikenal juga dengan variasinya seperti pertanian organik atau permakultur, memasukkan aspek kelestarian daya dukung lahan maupun lingkungan dan pengetahuan lokal sebagai faktor penting dalam perhitungan efisiensinya. Akibatnya, pertanian berkelanjutan biasanya memberikan hasil yang lebih rendah daripada pertanian industrial.
Pertanian modern masa kini biasanya menerapkan sebagian komponen dari kedua kutub "ideologi" pertanian yang disebutkan di atas. Selain keduanya, dikenal pula bentuk pertanian ekstensif (pertanian masukan rendah) yang dalam bentuk paling ekstrem dan tradisional akan berbentuk pertanian subsisten, yaitu hanya dilakukan tanpa motif bisnis dan semata hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau komunitasnya.
Sebagai suatu usaha, pertanian memiliki dua ciri penting: selalu melibatkan barang dalam volume besar dan proses produksi memiliki risiko yang relatif tinggi. Dua ciri khas ini muncul karena pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Beberapa bentuk pertanian modern (misalnya budidaya alga, hidroponika) telah dapat mengurangi ciri-ciri ini tetapi sebagian besar usaha pertanian dunia masih tetap demikian.
Sejarah singkat pertanian dunia
Daerah "bulan sabit yang subur" di Timur Tengah. Di tempat ini ditemukan bukti-bukti awal pertanian, seperti biji-bijian dan alat-alat pengolahnya.
Domestikasi anjing diduga telah dilakukan bahkan pada saat manusia belum mengenal budidaya (masyarakat berburu dan peramu) dan merupakan kegiatan peternakan yang pertama kali.
Kegiatan pertanian (budidaya tanaman dan ternak) merupakan salah satu kegiatan yang paling awal dikenal peradaban manusia dan mengubah total bentuk kebudayaan. Para ahli prasejarah umumnya bersepakat bahwa pertanian pertama kali berkembang sekitar 12.000 tahun yang lalu dari kebudayaan di daerah "bulan sabit yang subur" di Timur Tengah, yang meliputi daerah lembah Sungai Tigris dan Eufrat terus memanjang ke barat hingga daerah Suriah dan Yordania sekarang. Bukti-bukti yang pertama kali dijumpai menunjukkan adanya budidaya tanaman biji-bijian (serealia, terutama gandum kuna seperti emmer) dan polong-polongan di daerah tersebut. Pada saat itu, 2000 tahun setelah berakhirnya Zaman Es terakhir di era Pleistosen, di dearah ini banyak dijumpai hutan dan padang yang sangat cocok bagi mulainya pertanian. Pertanian telah dikenal oleh masyarakat yang telah mencapai kebudayaan batu muda (neolitikum), perunggu dan megalitikum. Pertanian mengubah bentuk-bentuk kepercayaan, dari pemujaan terhadap dewa-dewa perburuan menjadi pemujaan terhadap dewa-dewa perlambang kesuburan dan ketersediaan pangan.
Teknik budidaya tanaman lalu meluas ke barat (Eropa dan Afrika Utara, pada saat itu Sahara belum sepenuhnya menjadi gurun) dan ke timur (hingga Asia Timur dan Asia Tenggara). Bukti-bukti di Tiongkok menunjukkan adanya budidaya jewawut (millet) dan padi sejak 6000 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Asia Tenggara telah mengenal budidaya padi sawah paling tidak pada saat 3000 tahun SM dan Jepang serta Korea sejak 1000 tahun SM. Sementara itu, masyarakat benua Amerika mengembangkan tanaman dan hewan budidaya yang sejak awal sama sekali berbeda.
Hewan ternak yang pertama kali didomestikasi adalah kambing/domba (7000 tahun SM) serta babi (6000 tahun SM), bersama-sama dengan domestikasi kucing. Sapi, kuda, kerbau, yak mulai dikembangkan antara 6000 hingga 3000 tahun SM. Unggas mulai dibudidayakan lebih kemudian. Ulat sutera diketahui telah diternakkan 2000 tahun SM. Budidaya ikan air tawar baru dikenal semenjak 2000 tahun yang lalu di daerah Tiongkok dan Jepang. Budidaya ikan laut bahkan baru dikenal manusia pada abad ke-20 ini.
Budidaya sayur-sayuran dan buah-buahan juga dikenal manusia telah lama. Masyarakat Mesir Kuna (4000 tahun SM) dan Yunani Kuna (3000 tahun SM) telah mengenal baik budidaya anggur dan zaitun.

situasi sektor pertanian Indonesia, fakta-fakta bahwa kondisi pertanian di Indonesia belum menggembirakan. Beberapa indikatornya adalah sbb :
Sebagian besar penduduk miskin adalah tinggal di wilayah pedesaan dimana umumnya terlibat dalam kegiatan pertanian. Mengutip data BPS tahun 2007, penulis bahkan menyebut sekitar 72% kelompok petani miskin adalah dari subsektor pertanian pangan.
• Konversi lahan pertanian, pada 2002 mencapai 110 ribu ha, dan empat tahun kemudian meningkat menjadi 145 ribu ha
• Penulis mengutip data FAO tentang pertumbuhan subsektor pangan tahun 2004 yang mengalami kemunduran dibanding tahun 1978 sampai 1986 (tapi tidak dijelaskan lebih lanjut satuan pertumbuhan subsektor ini maknanya apa. What does the number mean?)
• Penduduk Indonesia yang terus berkembang dan berkembang, sehingga menurut penulis akan semakin serius tantangannya
• Kebijakan impor beras premium yang terus dilakukan, padahal kita punya beras berkualita sama seperti beras cianjur dan IR-64
• Produktivitas pekerja pertanian lebih rendah daripada pekerja sektor industri, baik di tahun 1997 maupun 2005. Pada tahun 1997, seorang pekerja sektor pertanian menghasilkan output senilai Rp 1,7 juta per tahun, sementara pekerja industri Rp 9,5 juta; tahun 2005 pekerja sektor pertanian dan industri nilai outputnya berturut-turut RP 6,1 juta dan Rp 41,1 juta
perekonomian di era globalisasi ini masih sama dengan era sebelumnya, yaitu bagaimana subjek dari perekonomian Indonesia, yaitu penduduk Indonesia sejahtera. Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar, sekarang ada 235 juta penduduk yang tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jumlah penduduk yang besar ini menjadi pertimbangan utama pemerintah pusat dan daerah, sehingga arah perekonomian Indonesia masa itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

Berdasarkan pertimbangan ini, maka sektor pertanian menjadi sektor penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka kita mulai mencanangkan masa depan Indonesia menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian kita juga semakin kuat.

Seiring dengan transisi (transformasi) struktural ini sekarang kita menghadapi berbagai permasalahan. Di sektor pertanian kita mengalami permasalahan dalam meningkatkan jumlah produksi pangan, terutama di wilayah tradisional pertanian di Jawa dan luar Jawa. Hal ini karena semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai untuk bertani. Perkembangan penduduk yang semakin besar membuat kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan berbagai sarana pendukung kehidupan masyarakat juga bertambah. Perkembangan industri juga membuat pertanian beririgasi teknis semakin berkurang.

Selain berkurangya lahan beririgasi teknis, tingkat produktivitas pertanian per hektare juga relatif stagnan. Salah satu penyebab dari produktivitas ini adalah karena pasokan air yang mengairi lahan pertanian juga berkurang. Banyak waduk dan embung serta saluran irigasi yang ada perlu diperbaiki. Hutan-hutan tropis yang kita miliki juga semakin berkurang, ditambah lagi dengan siklus cuaca El Nino-La Nina karena pengaruh pemanasan global semakin mengurangi pasokan air yang dialirkan dari pegunungan ke lahan pertanian.

Sesuai dengan permasalahan aktual yang kita hadapi masa kini, kita akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri. Di kemudian hari kita mungkin saja akan semakin bergantung dengan impor pangan dari luar negeri. Impor memang dapat menjadi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, terutama karena semakin murahnya produk pertanian, seperti beras yang diproduksi oleh Vietnam dan Thailand. Namun, kita juga perlu mencermati bagaimana arah ke depan struktur perekonomian Indonesia, dan bagaimana struktur tenaga kerja yang akan terbentuk berdasarkan arah masa depan struktur perekonomian Indonesia.

Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.

Sedangkan pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling tinggi.

Data ini juga menunjukkan peran penting dari sektor pertanian sebagai sektor tempat mayoritas tenaga kerja Indonesia memperoleh penghasilan untuk hidup. Sesuai dengan permasalahan di sektor pertanian yang sudah disampaikan di atas, maka kita mempunyai dua strategi yang dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia di masa depan.

Strategi pertama adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor pertanian, dan pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang insentifnya lebih menarik.

Strategi kedua adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia. Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan. Sarana pendukung seperti jalan, pelabuhan, listrik adalah sarana utama yang dapat mengakselerasi pertumbuhan di sektor ini.

Struktur perekonomian Indonesia sekarang adalah refleksi dari arah perekonomian yang dilakukan di masa lalu. Era orde baru dan era reformasi juga telah menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor penting yang membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia.

Globalisasi Pertanian dan Kesejahteraan Petani
Menurut Lowdermilk, usia pertanian sudah lebih dari 7.000 tahun. Pertanian (agriculture) didefinisikan sebagai usaha budi daya tanaman
atau ternak dalam bidang lahan yang tetap. Karena itu, kuncinya produktivitas yang bersumber dari inovasi teknologi yang diterapkan
pada bidang lahan tetap tersebut. Apabila teknologi yang diterapkan merusak maka pertanian bersifat merusak sistem ekologi alam.
Gurun pasir atau lahan-lahan kritis, sekarang, merupakan contoh peninggalan sistem pertanian yang merusak alam.
Perdagangan komoditas pertanian merupakan motor dari globalisasi hasil-hasil pertanian. Perdagangan ini menyertakan mobilitas
penduduk yang jumlahnya cukup besar untuk mengubah komposisi demografis penduduk di suatu wilayah. Di Indonesia, kita
menyaksikan pertanian padi yang konon bersumber dari Tiongkok dengan usia lebih dari 3.500 tahun.
Kemudian kita mengenal jagung, tembakau, kakao, kina, dan karet, yang berasal dari benua Amerika. Sedangkan kelapa sawit dan kopi berasal dari Afrika. Tanaman-tanaman tersebut hadir di Indonesia bersamaan dengan datangnya para penjelajah atau saudagar dunia, yang juga mencari berbagai macam barang dari Nusantara, khususnya rempah-rempah.
Para penjelajah Barat sebenarnya datang belakangan, yaitu setelah mereka bisa melintasi Tanjung Harapan. Bangsa Portugis, sebagai
pelopor penjelajahan ke Asia melalui Timur, datang dan menaklukkan Malaka pada 1511. Kemudian, secara bergelombang kita
menyaksikan hadirnya bangsa-bangsa Eropa yang lain hampir seratus tahun kemudian, yaitu Belanda, Inggris, Prancis, dan lain-lain. Kita
sering lupa bahwa betapa besar nilai rempah-rempah pada zamannya, sehingga, misalnya, Banda Neira dipertukarkan dari Inggris dengan
Manhattan (New York) yang dimiliki Belanda.
Latar belakang sejarah di atas penulis sampaikan sebagai bahan pemikiran bahwa pertanian yang kita kerjakan, sekarang, bukanlah hal
yang terjadi tiba-tiba tanpa melibatkan pergolakan ekonomi, politik dan militer secara global.
Bahkan, dengan mempelajari pertanian kita akan mendapatkan bahan pembelajaran bagaimana sebaiknya kita mengembangkan politik
nasional dengan memanfaatkan pertanian sebagai instrumennya.
Politik perkebunan pada dasarnya dirancang oleh kekuatan global pada masa awalnya untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah atau
bahan baku di negara asalnya. Kita hanyalah sebagai alatnya. Perlu kita sadari bahwa kalau kita katakan perkebunan berorientasi ekspor,
itu bukanlah hasil desain kita. Itu adalah hasil desain struktur ekonomi global yang begitu kuat, sehingga kita pun sering tidak
menyadarinya.
Salah satu indikator ketidakseimbangan pasar dalam menentukan pembagian margin dapat dilihat, antara lain, pada kopi, yaitu hanya
sekitar 10 persen dari retail added value margin yang diterima oleh negara-negara pengekspor. Hal serupa juga dapat diperkirakan
terjadi terhadap komoditas perkebunan lainnya (kecuali gula) mengingat status kita masih sebagai net importir.
Implikasi
Apa implikasinya terhadap perekonomian nasional kita? Kita perlu menyadari bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi global, khususnya yang dimainkan oleh perusahaan multinasional, merupakan instrumen global yang sangat besar perannya dalam menentukan mati-hidupnya pertanian kita.
Dalam bidang pangan, khususnya jagung, gandum, dan kedelai, sistem produksi dan pasarnya sudah dikuasai oleh perusahaan-
perusahaan multinasional yang mengakar di Eropa dan Amerika. Sistem produksi perkebunan, khususnya karet, walaupun industrinya
dikuasai oleh perusahaan multinasional, seperti Michelin, Bridgestone, dan Goodyear, hampir dapat dipastikan sulit dikembangkan di
negara maju mengingat satu kegiatan produksi primernya, yaitu menyadap getah karet, belum bisa dilakukan secara mekanisasi. Oleh
karena itu, posisi produksinya masih bisa kita kembangkan. Namun, untuk komoditas lainnya, termasuk kelapa sawit, kita harus berhati-
hati.
Posisi petani dengan jumlahnya yang besar perlu menjadi perhatian utama kita. Sistem politik-ekonomi global masa sekarang tampaknya mirip dengan apa yang pernah terjadi pada 1930-an, yaitu betapa miskin para petani di negara-negara berkembang, sekarang ini, mirip dengan posisi petani di negara-negara jajahan pada masa tersebut.
Apabila pada 1930-an lahir politik etis di Belanda dengan tema edukasi, irigasi, dan transmigrasi, maka politik etis global pada abad ke- 21 ini juga harus bisa dilahirkan kembali. Tanpa adanya politik etis global yang baru, yang bisa memberikan ruang kehidupan baru bagi negara-negara berkembang yang notabene bekas jajahan yang memerdekakan diri kurang-lebih 60 tahun yang lalu, struktur politik- ekonomi dunia sangatlah terbatas memberikan ruang-gerak untuk dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperbaiki nasib para petani di negara-negara berkembang.
Model Revolusi Hijau ternyata belum cukup ampuh untuk mengubah nasib petani di negara-negara berkembang. Bahkan, mungkin hal sebaliknya yang terjadi, yaitu model ini lebih banyak memberikan keuntungan bagi perusahaan raksasa di negara-negara maju. Model bantuan luar negeri melalui berbagai jenis utang luar negeri, memang memberikan manfaat, tetapi lebih banyak manfaatnya mengalir ke luar dan para petani masih tetap miskin.
Kita perlu menciptakan model yang lebih baik, yang didasari oleh landasan etika politik-ekonomi yang lebih beradab. Hanya dengan ini
perubahan dunia ke arah yang lebih baik bagi para petani di negara-negara berkembang akan terwujud.

DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PERTANIAN
INDONESIA

Tinjaun Praxis Globalisasi
Globalisasi merupakan kontinum dari skenario idiologi dan mode
kapitalisme liberal yang embrionya telah lama dicetuskan oleh Adam Smith.
Efisiensi (profit maxization) adalah ruhnya, revolusi industri motornya, teknologi
dan institutional finance internasional (GATT, WTO, IMF) adalah medianya,
dan imperialisme/ kolonialisme awal perwujudannya. Pelaku utamanya
adalah kaum borjuis (the big bourgeoisie), yakni Trans National Corporation
(Althusser). Tujuannya adalah melanggengkan dominasi dengan menghindari
modus fisik melalui hegemoni, yakni dominasi (kolonialisme) perspektif dan
ideologi yang berbasis produksi ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Pada
perkembangannya, hegemoni berkembang dari Merkantisilme ke berbagai
aspek neo-kolonialisme (ekonomi, sosial, politik, dan budaya). Secara praktis
historis-empiris, pen-Spanyol-an Amerika merupakan dasar globalisasi tahap
pertama, lalu disusul dengan perang dingin (globalisasi idiologi). Sedangkan
Marshal Plan merupakan awal dari peng-Amerika-an dunia (globalisasi
ekonomi modern).
Secara teoretis globalisasi merupakan episodis dari teori evolusi (Hegel,
Comte, Darwin, Ricardo, Mill, Malthus) yang meyakini bahwa masyarakat
akan berkembang dari primitive ke modern, modernisasi seluaruh bangsa
(Rostow, McClelland, Inkeles), rekayasa sosial (social engineering) atau Social
Darwinisme (Spencer), pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem
ekonomi global (Fakih), pembiasan batas-batas sosial, ekonomi, idiologi,
politik, dan budaya suatu negara atau bangsa (Tjiptoherijanto), penghapusan
peta dunia (Naisbith, Huntington, dan Topler), development aid (Kruijer),
percepatan kapitalisme pasca krisis kapitalis di tahun 1930-an (Fakih), dan
basic need strategy (Grant).
Menurut Salim (1995), globalisasi mencakup lima unsur penting, yaitu:
1) globalisasi dalam perdagangan, yaitu dengan adanya AFTA, APEC, dan
WTO; 2) globalisasi investasi, dimana modal akan mengalir ke tempat yang
memberi banyak keuntungan; 3) globalisasi industri, dimana suatu barang
tidak hanya diproduksi pada suatu tempat akan tetapi dibanyak tempat; 4)
globalisasi teknologi, terutama teknologi di bidang informasi, telekomunikasi,
transportasi, dan sebagainya; dan 5) globalisasi konsumsi, dimana terjadi
peralihan dari pemenuhan kebutuhan (needs) kepada pemenuhan permintaan
(wants). Dengan demikian terjadi reduksi kedaulatan ekonomi suatu negara
oleh konvensi internasional.

Anatomi Globalisasi
Imperialisme dan kolonialisme sebagai embrio Globalisasi lahir dan
dibesarkan oleh kaum borjuis dengan berbagai modus (Gold, Glory, Gospel),
sedangkan Globalisasi dibesarkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa
(Trans Nasional Corporations) yang secara riil merupakan reinkarnasi kaum
borjuis yang paling diuntungkan oleh metode ekonomi tersebut. Adapun

modusnya adalah ekspansi produksi, ekspansi pasar, dan ekspansi investasi,
yang didesakkan lewat skema perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi.
Pendiriannya adalah kebijakan free market yang mendorong swasta dan
pilihan konsumen, penghargaan atas tanggungjawab personal dan inisiatif
kewiraswastaan, dan menyingkirkan birokrasi (parasit). Karena konstruksinya
menjalar dalam iklim kapitalisme, maka wajar jika dalam dua dasa warsa
(1970-1990) perusahaan TNCs meningkat secara menakjubkan dari 7000
menjadi 37000, dan menguasai 67% perdagangan dunia antar TNCs, 34,1%
total perdagangan global, dan menguasai 75% total investasi global. Secara
kelembagaan, patron-nya adalah WTO dan IMF (Word Bank), serta institusiinstitusi
ekonomi di tingkat regional dan nasional, dan secara politik
dipayungi oleh negara-negara maju (eks penjajah).
Menurut Fakih (2001), globalisasi pada hakekatnya bertumpu di atas
paham ekonomi neo-liberal. Para penganut ini percaya bahwa pertumbuhan
ekonomi akan dicapai dengan “kompetisi bebas”. Kompetisi yang agresif
merupakan implikasi dari trash bahwa “free market” adalah cara yang efisien
dan tepat untuk mengalokasikan sumberdaya alam yang langka untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Harga yang berlaku merupakan indikator
apakah sumberdaya yang ada masih berlimpah atau sudah langka. Harga
yang tinggi berarti sinyal positif bagi investasi. Implikasinya, mereka berusaha
keras untuk menciptakan berbagai kelangkaan sumberdaya di negara dunia
ketiga. Prosesnya dilakukan melalui invisible hand dan keluar dari
cengkraman kebijakan pemerintah. Oleh karena itu mereka memandang
proteksi, subsidi, dumping, paham keadilan sosial, kesejahteraan bagi rakyat,
kearifan lokal dan sebagainya sebagai patologi ekonomi neo-liberal. Untuk itu
mereka akan berusaha secara langsung maupun tidak langsung menghapus
berbagai kebijakan suatu negara yang dapat merintanginya.
Secara historis empiris, globalisasi lahir dari konsensus para pembela
ekonomi private terutama wakil-wakil dari perusahaan raksasa yang
menguasai dan mengontrol pasar dan ekonomi internasional serta memiliki
kekuasaan untuk mendominasi informasi (media massa) dalam membentuk
opini publik. Konsensus tersebut lebih dikenal dengan “The Neoliberal
Washington Consensus”. Pokok-pokok globalisasi meliputi: Pertama, bebaskan
perusahaan swasta dari camput tangan pemerintah (perburuhan, upah,
investasi, harga), biarkan mereka mempunyai otoritas; Kedua, hentikan
subsidi, longgarkan dan hilangkan kebijakan proteksi, lakukan privatisasi
atas BUMN; Ketiga, hapuskan kearifan lokal, pemilikan komunal,
kesejahteraan bersama, serahkan pengelolaan pada ahlinya (privatisasi)
jangan oleh masyarakat adat (lokal) karena tidak efisien (Fakih, 2001).
Internasionalisasi produksi dan penguasaan ruang dalam distribusi
sebagai gejala globalisasi diprakarsai lewat perubahan kebijakan
pembangunan nasional kearah integrasi dengan kebijakan internasional.
Pertanian (pangan) dan pertambangan (bahan bakar) merupakan dua sektor
yang menjadi fokus utama dari integrasi internasional, dan karena keduanya
merupakan determinan lahirnya globalisasi. Adapun idiologi dan politik, tidak
lebih hanya sekedar pembungkus dari want yang sesungguhnya bertumpu
pada natural resources. Inti dari globalisasi sesungguhnya tidak berbeda
dengan imperialisme atau kolonialisme, yaitu penguasaan bahan baku
(Malthus). Menurut Adam Smith, Singer, Arndt, dan Becker, jalan menuju
globalisasi adalah human capital.

Globalisasi Pertanian di Dunia
Globalisasi pertanian secara kausalistik muncul sebagai respon atas
tesis Malthus (1766-1834). Ini merupakan perwujudan dari idiologi
kapitalistik yang berkarakter efisiensi (profit maxization), competition for gain,
freedom, un-security, dan un-sustainability (sementara) yang eksis dalam
naungan prudence atau the invisible hand (Adam Smith). Un-security inilah
yang mendorong revolusi industri, pencarian dan penaklukkan, imperialisme
atau kolonialisme di dunia, dan penemuan lewat rekayasa genetik. Pada
dasarnya, un-security-lah yang melandasi semangat evolusi, dan social
darwinisme.
Pada perkembangannya, tesis Malthus bersimbiosis dengan keyakinan
dan mitos efficiency sebagai satu-satunya prinsip dasar yang harus
dipergunakan dalam pengelolaan lingkungan alam, ekonomi, dan berbangsa.
Mitos tersebut kemudian berlanjut pada mitos lain, bahwa hanya Trans
National Corporations (TNC) yang memiliki jaringan pemasaran internasional
yang sudah mapan-lah yang paling efisien, dan oleh karenanya TNC lah yang
dipercaya dan ditaklidi sebagai pihak yang paling berhak sebagai penyedia
pangan dunia.
Meningkatnya ketakutan akan kelangkaan pangan dan bahan baku
mendorong Rockefeller dan Ford Foundations terjun ke sektor pertanian.
Melalui US Agency for International Development (USAID), pada tahun 1960-
an memunculkan konsep pembangunan pertanian yang kelak menjadi hantu
bagi para petani, yaitu Green Revolution (IPFRI, 2003). Setelah itu muncul
International Rice Research Institute (IRRI), Center for Maize and Wheat
Improvement (CYMMIT), hingga Putaran Uruguay, GATT, WTO, IMF, APEC,
dan sebagainya. Secara substansial, klaim kekuasaan atas bio diversity dan
berbagai inovasi dituangkan dalam lembaga Hak Paten dan Hak Atas
Kekayaan Intelektual (HAKI). Klaim kekuasaan pasar dilembagakan dalam
bentuk Kartel, Standar Internasional, bahkan Undang-Undang Bio-terorisme.
Semakin kuatnyanya TNCs, maka semakin memonopoli inovasi dan
pasar. Berbagai macam sarana produksi, mulai dari benih, alat mesin
pertanian, pestisida, modal, dan kriteria pasar dimonopoli oleh TNCs melalui
undang-undang Hak Paten. Ini merupakan skenario pemusnahan kearifan
dan sumberdaya lokal. Negara-negara dunia ketiga harus tunduk pada
mekanisme TNCs, jika ingin menembus pasar internasional. Sangat sadis,
karena segalanya menjadi ketergantungan atas input luar, inilah yang disebut
dengan “Total Konsumen”. Sekalipun ada penyerahan proses produksi,
namun tidak lantas mendudukkan petani di negara dunia ketiga menjadi
produsen, karena sifatnya hanya melakukan titah (budak) “ngorder atau
ngemaklun” yang posisi tawarnya serba lemah dalam segala hal.

Globalisasi Pertanian di Indonesia
Genderang globalisasi pertanian di Indonesia sesungguhnya telah
dimulai sejak pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan
hongitochten, yaitu cara perdagangan monopoli yang disertai dengan
penghancuran kebun-kebun/hutan-hutan rempah penduduk yang berani
menyaingi monopoli perdagangan tersebut (Satari, 1999). Pada tahun 1830
globalisasi semakin kentara dengan diterapkannya kebijakan tanam paksa
(cultuurstelsel). Tanah sebagai sumberdaya alam yang penting dikuasai oleh
Pemerintah Kerajaan Belanda yang di desa diwakili Kepala Desa dan
dipinjamkan kepada petani, dan petani harus membayarnya. Pada tahun
1870 Pemerintah Kerajaan Belanda memberlakukan Undang-Undang Agraria
(Agrarische) sebagai pelumas masuknya modal swasta Eropa sebagai tonggak
pertanian modern (estate). Rakyat pedesaan yang semula merupakan petani
mandiri berubah status menjadi buruh perkebunan, dan berakhir di awal
abad ke 19 (VOC bangkrut).
Globalisasi pertanian di Indonesia memuncak pada era 1970-an, ketika
program Revolusi Hijau (Green Revolusion) intens diintroduksikan. Berbagai
input luar produk dari perusahaan-perusahaan TNCs dipaksakan kepada
petani untuk diterapkan. Puncaknya tercapai tahun 1985, yaitu swasembada
beras. Setelah itu intensitas dan eskalasi pasar input luar semakin menggila
seiring dengan dikembangkannya konsepsi agribisnis.
Di penghujung abad 20, kebijakan ekonomi makro Indonesia semakin
jelas tepolarisasi pada pertumbuhan. Implikasinya, alokasi sumberdaya
untuk pembangunan pertanian tergeser oleh sektor manufaktur sebagai
sektor prioritas. Dengan demikian, pembangunan yang selayaknya
“agriculture-led” menjadi di dominasi oleh pembangunan yang bersifat
“manufacturing industries-led”.
Meningkatnya respon negatif dari berbagai kalangan atas dampak
negatif program Revolusi Hijau tidak lantas membuat TNCs terhenti. Melalui
sosialisasi pada berbagai ruang publik, TNCs pun dapat melangkah dengan
mulus lewat pendekatan Agribisnis. Lewat pendekatan inilah senyatanya
TNCs dapat dengan mudah mengintegrasikan pasar nasional kedalam pasar
internasional yang dikuasai dan dikontrolnya. Melalui pendekatan Agribisnis
dominasi TNCs diperhalus dengan menghadirkan keragaman istilah yang
sepertinya berbau pemerataan, seperti Contrac Farming, Kemitraan (PIR, TRI),
Rice Estate, Corporate Farming, dan sebagainya. Dengan demikian,
perbudakan dan pemarginalan petani menjadi tidak kentara. Secara sosial
praktis, TNCs pun menjadi baking para petani berdasi dalam segala hal. Ini
merupakan praktik efisiensi yang perlahan namun pasti akan menyingkirkan
para petani kecil (fenomenanya dapat kita saksikan pada usahatani sayuran
di Dataran Tinggi, poultryshop, dsb)

Dampak Globalisasi Pertanian
Globalisasi secara teoretis penuh dengan tuntutan atas negara-negara
yang ingin (dipaksa harus) terlibat, seperti mengendurkan bea masuk,
mengendurkan proteksi, mengurangi subsidi, memangkas regulasi eksporimpor,
perburuhan, investasi, dan harga, serta melakukan privatisasi atas
perusahaan milik negara. Kondisi tersebut tidak akan banyak membawa
produk-produk lokal ke pasar internasional. Sekalipun perusahaanperusahaan
TNCs dibebani tanggungjawab sosial, namun fenomenanya tidak
akan jauh berbeda dengan pola kemitraan atau contrac farming yang pada
hakekatnya bermodus eksploitasi.
Syarat-syarat yang ditetapkan sesungguhnya merupakan perangkap
yang sulit ditembus oleh negara dunia ketiga. Kecenderungannya akan
mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal. Pada
perkembangnnya, segala sesuatu yang berbau lokal akan melemah dan
hilang. Mahatir (Kompas, 5/2/2004) berpendapat bahwa pengintegrasian
perekonomian dunia hanya akan membawa malapetaka bagi negara
berkembang. Itu bukan hanya merusak ekonomi lokal, tetapi juga akan
menciptakan perlambatan ekonomi, anarki ekonomi, dan kekacauan sosial
(social chaos).
Mander, Barker, dan Korten (2003) menyatakan bahwa globalisasi
ekonomi justru menciptakan kondisi sebaliknya dari klaim para
penganjurnya. Kegagalan itu tidak hanya disuarakan oleh oposisi tetapi juga
oleh para pendukungnya. UNDP (1999) melaporkan bahwa ketimpangan antar
petani kaya dengan petani miskin semakin meluas setelah diberlakukannya
globalisasi. Adalah sistem perdagangan dan sistem keuangan global sebagai
biang keroknya. Menurut CIA, globalisasi tidak menyentuh kaum miskin,
termasuk petani gurem (peasant) yang jumlahnya sangat dominan di
Indonesia.
Globalisasi cenderung menghancurkan tatanan dan modal-modal
sosial. Meskipun gagasannya dituangkan dalam kerangka pemberdayaan
masyarakat sebagai penampakan corporate social responsibility TNCs, namun
hasilnya tetap tidak pernah terwujud. Menurut Pollnac (1988) dan Garkovich
(1989), menghadirkan sebuah lembaga baru dalam suatu masyarakat dengan
maksud memotong struktur hubungan atau jaringan (sosial, komunikasi,
kerja) yang telah terpola atau berlangsung mapan, merupakan skenario yang
tidak mengindahkan karakteristik sosio-budaya dan pranata lokal, dan
dengan ini kegagalan bisa terjadi. Hasil penelitian FAO atas negara-negara
yang mengimplementasikan kesepakatan putaran uruguay di 16 negara
menunjukkan telah terjadinya trend konsentrasi pertanian yang jelas
berakibat pada marginalisasi petani kecil, meningkatnya pengangguran dan
angka kemiskinan.
Impor berbagai produk dan bahan baku pertanian kian hari kian
meningkat. Meskipun jumlah produk pertanian yang diekspor dan dipasarkan
di pasar domestik jauh lebih tinggi daripada impor, namun selisih nilainya
hanya 2 persen (Khudori, 2003). Nilai 2 persen sesungguhnya tidak berarti,
karena jika dianalisis, nilai transaksi berjalan produk pertanian Indonesia itu
sesungguhnya devisit. Betapa tidak, produk pertanian yang diekspor oleh
Indonesia sesungguhnya adalah produk yang padat dengan input luar
(impor). Keunggulan produk tersebut jelas sangat bersifat kompetitif semu
(shadow competitivenes). TNCs sebagai pihak yang paling tahu akan efisiensi
memandang bahwa proses produksi usahatani (on-farm) sangat rentan
terhadap risiko dan ketidakpastian, untuk itu ia menerapkan strategi
kemitraan atau contarc farming.
Memang sebagai “pemaklun” yang sangat ketergantungan, petani
Indonesia masih merasakan keuntungan. Sebagaimana dikatakan Evans
(1979) dan Warren (1980), negara ketiga bisa menikmati kemajuan meskipun
berada dalam kondisi ketergantungan, suatu proses yang disebutnya sebagai
“dependent development”. Namun keuntungan tersebut jauh lebih rendah
dibandingkan dengan biaya dan kerugian yang harus ditanggung, seperti
gangguan kesehatan, pencemaran lingkungan, serta risiko dan ketidakpastian
lainnya.
Dampak yang paling kentara adalah terjadinya “kemandegan inovasi”
dalam seluruh sistem agribisnis. Ini merupakan implikasi dari
ketergantungan pada produk-produk impor. Pemikiran efisiensi yang diadopsi
secara mentah-mentah telah menyebabkan bangsa yang kaya akan
sumberdaya ini jatuh pada budaya instan dan malas. Produk-produk yang
senyatanya dapat diproduksi di dalam negeri didatangkan dari luar hanya
karena alasan murah. Para pelaku importir yang sesungguhnya merupakan
perpanjangan tangan dari TNCs dapat dengan mudah mendatangkan produkproduk
dari luar karena longgarnya regulasi ekspor-impor. Dampak
budayanya adalah melemahnya penghargaan atas produk-produk lokal,
sebagai akibat dari berkembangnya budaya konsumerisme yang kebaratbaratan
(western). Kondisi ini jelas sangat menguntungkan TNCs, karena
secara perlahan inovasi lokal tercerabut dari budayanya. Ini merupakan
peluang besar bagi investasi.
Dampak lainnya adalah tidak berperannya kelembagaan-kelembagaan
pendukung pertanian lokal. Hal ini terjadi karena TNCs selaku pihak yang
kuasa, telah memasok segala kebutuhan petani (buruh) secara langsung. Ini
pun merupakan rangkaian dari upaya untuk mengurangi campur tangan
pemerintah. Pada kondisi seperti ini, kreativitas dan keinovatifan
kelembagaan pendukung pertanian pemerintah malah menjadi mandul.
Pada ujungnya, globalisasi membawa seluruh warga dunia ke situasi
yang serba spekulatif. Meningkatnya dominasi dan persaingan tidak menutup
kemungkinan akan mendorong pihak yang lemah untuk menerapkan strategi
picik, seperti polusi dan kekacauan pasar (market chaos), instabilitas dan
polusi politik, penghancuran komoditas lewat penyebaran virus secara
terencana, social chaos, dan pembentukan opini publik.
Bagaimana sikap kita? Menurut Scott (1983), suatu perlakuan tidak
adil akan dianggap eksploitatif oleh pihak yang berada dalam kondisi rawan
subsistensi bila: 1) kerangka legitimasi atas perlakuan tersebut memang tidak
bisa diterimanya, dan 2) tersedia alternatif status selevel atau lebih rendah
yang bisa menampungnya bila ia terpaksa meninggalkan hubungan yang
tidak adil tersebut. Celakanya, kita sudah meratifikasi perjanjian
perdagangan bebas tersebut, lalu apa yang perlu kita lakukan?
Jika mencari perimbangan dampak positif Globalisasi bagi negaranegara
dunia ketiga, jelas sangat kecil dibandingkan dengan dampak
negatifnya. Sama seperti halnya dengan mekanisme kolonilasime, dampak
positifnya paling banter politik etis (pembangunan fisik). Kalaupun dilakukan
melalui peningkatan sumberdaya manusia tidak lebih sekedar untuk
melanggengkan dominasi power dan mengeksploitasi budaya. Tetapi yang
pasti memberi peluang yang besar untuk memunculkan tandingan atau
komparasinya, yaitu lokalisasi (localism). Menurut Collin Hines (2000) dalam
bukunya “Localization: The Global Manifesto”, globalisasi bukanlah pemberian
tuhan, artinya ia dapat diralat ke arah teologi baru globalisasi dengan lebih
memberi tempat kepada pahan localism yang melindungi dan membangun
kembali ekonomi lokal.
Gagasan Hines yang mengetengahkan Protect the Local Globally atau
pendekatan berbasis lokalita memang lebih memberdayakan. Namun itu saja
tidak cukup, karena untuk meningkatkan daya saing produk pertanian
Indonesia di pasar domestik maupun internasional seperti sekarang ini, perlu
disertai dengan inovasi pada sistem pembangunan pertanian secara
keseluruhan.




BAB III
KESIMPULAN

Saat ini kita mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kebijakan yang dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia di masa depan. Namun, beberapa permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di masa ini perlu segera dibenahi, sehingga kita dapat meneruskan hasil dari kebijakan perekonomian Indonesia yang sudah dibangun puluhan tahun lalu, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sampai saat sekarang ini,
Globalisasi telah berdampak luas pada pertanian di negara-negara
dunia ketiga. Ketimpangan, kemiskinan, dan ketergantungan pada berbagai
input luar adalah bukti konkritnya. Pencabutan subsidi, privatisasi
sumberdaya dan institusi pemerintah, longgarnya kran impor sebagai
prasyarat untuk ekspor, lenyapnya berbagai sumberdaya dan budaya lokal,
membiasnya pemberdayaan, dan mandegnya inovasi merupakan dampak
langsung dari globalisasi. Lemahnya kondisi internal dan kuatnya
cengkraman internasional merupakan sinergi penghancuran kearifan lokal di
negara dunia ketiga. Keberanian dan keberdayaan berinovasi
mengembangkan sumberdaya lokal (localism) merupakan kunci untuk
membangun kembali jati diri bangsa. Mengglobalkan inovasi lokal merupakan
indikator keberdayaan bangsa.


SUMBER : 1) http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/dampak_globalisasi_terhadap_pertanian_indonesia.

2) http://www.scribd.com/doc/8009743/Globalisasi-Pertanian-Dan-Kesejahteraan-Petani

Senin, 14 Maret 2011

Kemiskinan Dan Kesenjangan Pendapatan

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan pelayanan kesehatan, dan kemudahan - kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.Pemerintah Indonesia yang berorientasi mengembangkan Indonesia
menjadi negara maju dan mapan dari segi ekonomi tentu menganggap kemiskinan adalah masalah mutlak yang harus segera diselesaikan disamping masalah lain yaitu ketimpangan pendapatan, strukturisasi pemerintahan, inflasi, defisit anggaran dan lain lain.
Masalah kemiskinan yang dihadapi di setiap negara akan selaludi barengi dengan masalah laju pertumbuhan penduduk yang kemudian menghasilkan pengangguran, ketimpangan dalam distribusi pendapatan nasional maupun pembangunan, dan pendidikan yang menjadi modal utama untuk dapat bersaing di dunia kerja.

BAB II
Definisi dan Teori Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah "negara berkembang" biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang "miskin".
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan relatif, kemiskinan kultural dan kemiskinan absolut. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya. Kemiskinan Absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuha dasar. Mereka hidup dibawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau dibawah ³garis kemiskinan internasional´.Garis tersebut tidak mengenal tapal batas anatar negara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di sutau negara ,dan juga memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang hidup kurang dari Rp 10.000,- perhari. (Todaro, 2006)
Dalam bukunya The Affluent Society, John KennethGalbraith melihat kemiskinan terdiri dari tiga macam, yakni kemiskinan umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar ekonomi lainnya melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif, kemiskinan musiman (cyclical), dan kemiskinan individu. Kemiskinan, menurut Sharp et al., dapat disebabkan oleh ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya, perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia dan disebabkan oleh perbedaan akses dalam modal. Sedangkan lingkaran setan kemiskinan versi Nurkse sangat relevan dalam menjelaskan fenomena kemiskinan yang terjadi di negara-negara terbelakang. Menurutnya negara miskin itu miskin karena dia miskin (a poorcountry is poor because it is poor). Baldwin dan Meier mengemukakan enam sifat ekonomis yang terdapat di negara-negara miskin atau sedang berkembang yaitu :
1. Produsen barang primer : struktur produksinya terdiri dair bahan mentah dan bahan makanan. Sebagian besar penduduknya bekerja disektor pertanian dan sebagian besar penghasilan nasionalnya berasal dari sektor pertanian dan produksi primer nonpertanian.
2. Masalah tekanan penduduk : ada tiga tekanan penduduk yaitu adanya
pengangguran di desa-desa karena luas tanah yang relative sedikit dibanding penduduk yang tinggal disitu, kenaikan jumlah penduduk yang pesat karena menurunnya tingkat kematian dan naiknya tingkat kelahiran, serta naiknya tingkat beban ketergantungan yang kemudian akan menurunkan tingkat konsumsi rata-rata.
3. Sumber-sumber alam belum banyak diolah : masih banyak sumber daya yang belum diusahakan, artinya masih potensial sehingga belum menjadi sumber yang riil karena kurangnya kapital, tenaga ahli dan wirausahawan.
4. Penduduk masih terbelakang : Kualitas penduduknya sebagai faktor produksi (tenaga kerja) adalah rendah. Mereka masih merupakan faktor produksi yang kurang efisien, kurang mobilitas dalam pekerjaan baik vertical maupun horizontal. Mereka tidak mudah meninggalkan tempat kelahirannya.
5. Kekurangan kapital : adanya lingkaran yang tak berujung pangkal (vicious circle) menyebabkan kekurangan capital. Kekurangan capital disebabkan kurangnya investasi.
6. Orientasi ke perdagangan luar negeri : kebanyakan negara berkembang mengekspor komoditi yang bersifat produksi primer dan hampir sama seluruhnya.

FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN :
A. Laju Pertumbuhan Penduduk.
B. Angkatan Kerja, Penduduk yang Bekerja dan Pengangguran.
C. Distribusi Pendapatan dan Pemerataan Pembangunan.
D. Tingkat pendidikan yang rendah.
E. Kurangnya perhatian dari pemerintah.

Dampak Kemiskinan bagi Masyarakat Indonesia
Dampak dari kemiskinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Pertama, pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka tahun 2007 saja sebanyak 12,7 juta orang. Jumlah yang cukup ³fantastis´ mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini.
Dengan banyaknya pengangguran berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga, akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi, dan tingkat pengeluaran rata-rata.
Dalam konteks daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah Air, akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global. Dalam konteks daya beli di tengah melemahnya daya beli masyarakat kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Razali Ritonga menyatakan perkiraan itu didasarkan atas kontribusi pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis kemiskinan yakni hampir tiga perempatnya (74,99 persen).
Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang. Tetapi, juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau pertumbuhan (growth). Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam misalnya banyak perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja. Sebab, tak mampu lagi membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang terpaksa harus dirumahkan atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK (Putus Hubungan Kerja).
Kedua, kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri, atau menipu (dengan cara mengintimidasi orang lain) di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari memalak.
Ketiga, pendidikan. Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan.
Akhirnya kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
Keempat, kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif atau ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.
Kelima, konflik sosial bernuansa SARA. Tanpa bersikap munafik konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami.semuanya ini adalah ekspresi berontakan identitas diri setiap individu. Terlebih lagi fenomena bencana alam yang kerap melanda negeri ini yang berdampak langsung terhadap meningkatnya jumlah orang miskin. Kesemuanya menambah deret panjang daftar kemiskinan. Dan, semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di Indonesia. Baik di perdesaan maupun perkotaan.
Strategi pengentasan kemiskinan
Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang perlu diatasi dengan melibatkan peran serta banyak pihak, termasuk kalangan perguruan tinggi. Dari sekian banyak strategi mengentaskan kemiskinan, pendekatan social enterpreneurship yang bertumpu pada semangat kewirausahaan untuk tujuan-tujuan perubahan sosial, kini semakin banyak digunakan karena dianggap mampu memberikan hasil yang optimal. Konsep atau pendekatan ini layak diujicobakan dalam lingkup perguruan tinggi karena gagasan dasarnya sebenarnya sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya aspek pengabdian masyarakat.
Kemiskian timbul karena ada sebagian masyarakat yang belum ikut serta dalam pembangunan sehingga belum dapat menikmati hasil pembangunan secara memadai. Keadaan ini disebabkan oleh keterbatasan dalam kepemilikan dan penguasaan faktor produksi sehingga kemampuan masyarakat dalam menghasilkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan belum merata dan belum seimbang. Oleh sebab-sebab itu upaya pengembangan kegiatan ekonomi kelompok masyarakat berpendapatan rendah senantiasa ditempatkan sebagai prioritas utama. Sejalan dengan itu, penyedia faktor produksi termasuk modal dan kemampuan peningkatan kemampuan masyarakat menjadi landasan bagi berkembangnya kegiatan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Pelaksanaan pembangunan nasional yang dijabarkan dalam program pembangunan sektoral,regional dan khusus. Pembangunan baik secara langsung maupun tidak langsung dirancang untk memecahkan maslah kemiskinan.
Pada prinsipnya, pemerintah dalam program pembangunannya telah menjadikan kemiskinan sebagai salah satu focus utamanya. Program umum Presiden RI yang sering disebut dengan triple track mencakup pro poor, pro growth danpro
employment atau program pembangunan yang berfokus pada pengentasan
kemiskinan, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja. Dalam kaitan ini maka diproyeksikan bahwa melalui ketersediaan lapangan kerja yang memadai maka akan dapat diupayakan peningkatan penghasilan bagi masyarakat yang dengan sendirinya akan mengentaskan masalah kemiskinan, namun hal tersebut tentunya harus dilakukan dengan memperhitungkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Sehingga konsep umum ini berlandaskan pada sebuah nexus atau hubungan keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketersediaan lapangan kerja dan dengan kemiskinan itu sendiri.
Banyak kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk dapat mengatasi berbagai maslah kemiskinan ini, seperti :
1. Kebijaksanaan tidak langsung : Kebijaksanaan tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan kemiskinan. Kondisi yang dimaksudkan anatara lain adalah suasana social politik yang tentram,ekonomi yang stabil dan budaya yang berkembang. Upaya penggolongan ekonomi makro yang yang berhati-hati melalui kebijaksanaan keuangan dan perpajakan merupakan bagian dari upaya menaggulangi kemiskinan. Pengendalian tingkat inflasi diarahkan pada penciptaan situsasi yang kondusif bagi upaya penyediaan kebutuhan dasar seperti sandang,pangan,papan,pendidikan,dan kesehatan dengan harga yang terjangkau oleh penduduk miskin.
2. Kebijaksanaan langsung : Kebijaksaan langsung diarahkan kepada peningkatan peran serta dan peroduktifitas sumber daya manusia , khususnya golongan masyarakat berpendapatan rendah, melalui penyediaan kebutuhan dasar seperti sandang pangan papan kesehatan dan pendidikan , serta pengembangan kegiatan- kegiatan sosial ekonomi yang bekelanjutan untuk mendorong kemandirian golongan masyarakat yang berpendapatan rendah. Pemenuhan kebutuhan dasar akan memberikan peluang bagi penduduk miskin untuk melakukan kegiatan sosial ± ekonomi yang dapat memberikan pendapatan yang memadai. Dalam hubungan ini, pengembangan kegiatan sosial ekonomi rakyat diprioritaskan pada pengembangan kegiatan sosial ekonomi penduduk miskin di desa-desa miskin berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan permodalan yang didukung sepenuhnya dengan kegiatan pelatih yang terintegrasi sejak kegiatan penghimpunan modal, penguasaan teknik produksi,pemasaran hasil dan pengelolaan surplus usaha.
Selain itu dapat digunakan Kebijakan Desentralisasi &Otonomi Daerah. Gerakan penyelenggaraan pemerintahan di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, cenderung bergerak kearah desentralisasi. Hal itu terjadi sebagai upaya mereformasi dan memodernisasi pemerintahannya. Secara teoritis, desentralisasi dipahami sebagai penyerahan otoritas dan fungsi dari pemerintah nasional kepada pemerintah sub-nasional atau lembaga independen (The World BankGroup, 2004). Ide dasar dari desentralisasi adalah pembagian kewenangan di bidang pengambilan keputusan pada organisasi dengan tingkat yang lebih rendah. Pemahaman ini didasarkan pada asumsi bahwa organisasi pemerintah pada tingkat tersebut lebih mengetahui kondisi dan kebutuhan aktual dari masyarakat setempat, serta tidak mungkin pemerintah di tingkat nasional mampu melayani dan mengurusi kepentingan dan urusan masyarakat yang demikian kompleks. Desentralisasi juga dianggap sebagai jawaban atas tuntutan.

BAB III

Kesimpulan
Memiliki banyak polemik dalam menuntaskan kemiskinan membuat Indonesia harus sesegera mungkin berbenah diri. Kemiskinan memang tidak mungkin dihilangkan, namun bukan tidak mungkin untuk mengurangi persentase kemiskinan. Negara yang ingin membangun perekonomiannya harus mampu meningkatkan standar hidup penduduk negaranya, yang diukur dengan kenaikan penghasilan riil per kapita. Indonesia sebagai negara berkembang memenuhi aspek standar kemiskinan diantaranya merupakan produsen barang primer, memiliki masalaha tekanan penduduk, kurang optimalnya sumberdaya alam yang diolah, produktivitas penduduk yang rendah karena keterbelakangan pendidikan, kurangnya modal pembanguan, dan orientasi ekspor barang primer karena ketidakmampuan dalam mengolah barang- barang tersebut menjadi lebih berguna.

Sumber : http://www.scribd.com/doc/30565394/Faktor-Penyebab-Kemiskinan

Jumat, 11 Maret 2011

Neraca Pembayaran dan Pendapatan Nasional GNP dan GDP

I. PENDAHULUAN
Ekonomi internasional adalah salah satu bagian dari ilmu ekonomi yang sangat menarik untuk dipelajari dan dianalisis. Karena ekonomi internasional mempelajari dan menganalisis tentang transaksi dan permasalahan ekonomi internasional (ekspor dan impor) dimana salah satu permasalahan yang dihadapi dalam ekonomi internasional yaitu mengenai neraca pembayaran internasional. Neraca pembayaran merupakan suatu catatan sistematis mengenai transaksi ekonomi antara penduduk suatu negara dan penduduk negara lainnya dalam suatu periode tertentu dan diliputi pendapatan nasional.
Jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode,biasanya selama satu tahun.Dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) kebijak¬sanaan neraca pembayaran senantiasa diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan bidang ekonomi, yaitu seperti yang digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, yakni terciptanya perekonomian yang mandiri dan andal sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang makin merata, pertumbuhan yang cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang mantap, bercirikan industri yang kuat dan maju, pertanian yang tangguh, koperasi yang sehat dan kuat, serta perdagangan yang maju dengan sistem distribusi yang mantap, didorong oleh kemitraan usaha yang kukuh antara badan usaha koperasi, negara, dan swasta serta pendayagunaan sumber daya alam yang optimal.
Semua itu didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, maju, produktif, dan profesional, iklim usaha yang sehat serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan terpeliharanya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kebijaksanaan neraca pembayaran sebagai bagian integral dari kebijaksanaan pembangunan dalam PJP II tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan stabilitas nasional.
Di bidang perdagangan, kebijaksanaan ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dalam negeri, menunjang pengembangan ekspor nonmigas, memelihara kestabilan harga dan penyediaan barang-barang yang dibutuhkan di dalam negeri, serta menunjang iklim usaha yang menarik bagi penanaman modal. Kebijaksanaan di bidang pinjaman luar negeri melengkapi kebutuhan pembiayaan pembangunan di dalam negeri, dan diarahkan untuk menjaga kestabilan perkembangan neraca pembayaran secara keseluruhan.

Kebijaksanaan kurs devisa diarahkan untuk mendorong ekspor nonmigas dan mendukung kebijaksanaan moneter dalam negeri. Kebijaksanaan neraca pembayaran yang serasi dan terpadu dengan kebijaksanaan pembangunan lainnya merupakan faktor penting dalam pencapaian sasaran pembangunan. Kondisi neraca pembayaran yang mantap mendorong arus perdagangan luar negeri, meningkatkan lalu lintas modal luar negeri untuk kepentingan pembangunan nasional, serta mendukung pertumbuhan yang berlanjut dari perekonomian nasional. Sistem devisa bebas yang merupakan kebijaksanaan mendasar di bidang neraca pembayaran merupakan prasyarat dan perangkat ekonomi pokok bagi terciptanya efisiensi perekonomian nasional dalam berinteraksi dengan perekonomian internasional.

GBHN 1993 menggariskan bahwa pembangunan nasional yang makin meluas dan kompleks dengan penerapan iptek yang makin canggih memerlukan peningkatan kemampuan perencanaan, pelak¬sanaan, pengendalian dan pengawasan dalam manajemen pembangunan nasional yang terpadu, berpijak pada potensi, kekuatan efektif dan kemampuan dalam negeri yang dilandasi disiplin, tanggung jawab, semangat pengabdian, dan semangat pembangunan serta kemampuan profesional yang tinggi.

GBHN 1993 menegaskan bahwa dalam Repelita VI impor barang dan jasa diarahkan untuk meningkatkan produksi dalam negeri yang berorientasi pada ekspor, penghematan devisa, dan pola hidup sederhana. GBHN 1993 juga memberi petunjuk bahwa pembangunan yang diperoleh dari sumber dalam negeri harus lebih ditingkatkan. Pembangunan yang makin meningkat memerlukan biaya yang makin besar yang tidak dapat sepenuhnya dibiayai dari sumber dana dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan pembiayaan dari sumber dana luar negeri sebagai pelengkap yang diperoleh dengan syarat lunak, tidak memberatkan, tanpa ikatan politik dan digunakan untuk pembiayaan kegiatan pembangunan yang produktif sesuai dengan prioritas dan yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat serta peranan¬nya secara bertahap harus dikurangi. Peranan investasi modal asing terus didorong dan potensi peran serta pihak asing perlu lebih dikembangkan terutama melalui pasar modal dalam negeri

Di samping itu, dalam Repelita VI, GBHN 1993 memberi petunjuk bahwa penanaman modal dalam negeri dan modal asing makin didorong untuk memacu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, meningkatkan peran aktif masyarakat dalam kegiatan ekonomi serta memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja. Kemudahan dan iklim investasi yang lebih menarik terus dikem¬bangkan antara lain dengan penyediaan sarana dan prasarana ekonomi yang memadai, peraturan perundang-undangan yang mendukung dan penyederhanaan prosedur pelayanan investasi serta kebijaksanaan ekonomi makro yang tepat.

Dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan neraca pembayaran perlu dipegang dengan teguh seluruh asas nasional, terutama asas kemandirian, yaitu bahwa pembangunan nasional berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian bangsa. Untuk itu, seluruh sumber kekuatan nasional, baik yang efektif maupun potensial, didayagunakan dan dilaksanakan dengan memperhatikan seluruh faktor dominan yang dapat mempengaruhi lancarnya pencapaian sasaran pembangunan
II. ISI
A. Neraca pembayaran
Neraca pembayaran merupakan suatu ikhtisar yang meringkas transaksi-transaksi antara penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Neraca pembayaran mencakup pembelian dan penjualan barang dan jasa, hibah dari individu dan pemerintah asing, dan transaksi finansial. Umumnya neraca pembayaran terbagi atas neraca transaksi berjalan dan neraca lalu lintas modal dan finansial, dan item-item finansial.
Transaksi dalam neraca pembayaran dapat dibedakan dalam dua macam transaksi.
1. Transaksi debit, yaitu transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari dalam negeri ke luar negeri. Transaksi ini disebut transaksi negatif (-), yaitu transaksi yang menyebabkan berkurangnya posisi cadangan devisa.
2. Transaksi kredit adalah transaksi yang menyebabkan mengalirnya arus uang (devisa) dari luar negeri ke dalam negeri. Transaksi ini disebut juga transaksi positif (+), yaitu transaksi yang menyebabkan bertambahnya posisi cadangan devisa negara.
Devisa adalah semua barang yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran internasional. Devisa terdiri atas valuta asing, yaitu mata uang yang dapat diterima oleh hampir semua negara di dunia (seperti US Dollar ($), Yen Jepang, Euro, Poundsterling Inggris), emas, surat berharga yang berlaku untuk pembayaran internasional, dan lainnya.
Fungsi devisa
Pada dasarnya devisa dapat berfungsi sebagai :
1. Alat pembayaran luar negeri (perdagangan, ekspor, impor, dan seterusnya)
2. Alat pembayaran utang luar negeri.
3. Alat pembiayaan hubungan luar negeri, misalnya perjalanan dinas, biaya korps diplomatik kedutaan dan konsultan, serta hibah (hadiah, bantuan) luar negeri.
B. PENDAPATAN NASIONAL
Pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode,biasanya selama satu tahun.
Sejarah
Konsep pendapatan nasional pertama kali dicetuskan oleh Sir William Petty dari Inggris yang berusaha menaksir pendapatan nasional negaranya(Inggris) pada tahun 1665. Dalam perhitungannya, ia menggunakan anggapan bahwa pendapatan nasional merupakan penjumlahan biaya hidup (konsumsi) selama setahun. Namun, pendapat tersebut tidak disepakati oleh para ahli ekonomi modern, sebab menurut pandangan ilmu ekonomi modern, konsumsi bukanlah satu-satunya unsur dalam perhitungan pendapatan nasional. Menurut mereka, alat utama sebagai pengukur kegiatan perekonomian adalah Produk Nasional Bruto (Gross National Product, GNP), yaitu seluruh jumlah barang dan jasa yang dihasilkan tiap tahun oleh negara yang bersangkutan diukur menurut harga pasar pada suatu negara.
Konsep
Berikut adalah beberapa konsep pendapatan nasional
• Produk Domestik Bruto (GDP)
Produk domestik bruto (Gross Domestic Product) merupakan jumlah produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh perusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yang dihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah yang didapatkan dari GDP dianggap bersifat bruto/kotor.

Pendapatan nasional merupakan salah satu ukuran pertumbuhan ekonomi suatu negara
• Produk Nasional Bruto (GNP)
Produk Nasional Bruto (Gross National Product) atau PNB meliputi nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun; termasuk hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada di luar negeri, tetapi tidak termasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut.
• Produk Nasional Neto (NNP)
Produk Nasional Neto (Net National Product) adalah GNP dikurangi depresiasi atau penyusutan barang modal (sering pula disebut replacement). Replacement penggantian barang modal/penyusutan bagi peralatan produski yang dipakai dalam proses produksi umumnya bersifat taksiran sehingga mungkin saja kurang tepat dan dapat menimbulkan kesalahan meskipun relatif kecil.
• Pendapatan Nasional Neto (NNI)
Pendapatan Nasional Neto (Net National Income) adalah pendapatan yang dihitung menurut jumlah balas jasa yang diterima oleh masyarakat sebagai pemilik faktor produksi. Besarnya NNI dapat diperoleh dari NNP dikurang pajak tidak langsung. Yang dimaksud pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain seperti pajak penjualan, pajak hadiah, dll.
• Pendapatan Perseorangan (PI)
Pendapatan perseorangan (Personal Income)adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap orang dalam masyarakat, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa melakukan kegiatan apapun. Pendapatan perseorangan juga menghitung pembayaran transfer (transfer payment). Transfer payment adalah penerimaan-penerimaan yang bukan merupakan balas jasa produksi tahun ini, melainkan diambil dari sebagian pendapatan nasional tahun lalu, contoh pembayaran dana pensiunan, tunjangan sosial bagi para pengangguran, bekas pejuang, bunga utang pemerintah, dan sebagainya. Untuk mendapatkan jumlah pendapatan perseorangan, NNI harus dikurangi dengan pajak laba perusahaan (pajak yang dibayar setiap badan usaha kepada pemerintah), laba yang tidak dibagi (sejumlah laba yang tetap ditahan di dalam perusahaan untuk beberapa tujuan tertentu misalnya keperluan perluasan perusahaan), dan iuran pensiun (iuran yang dikumpulkan oleh setiap tenaga kerja dan setiap perusahaan dengan maksud untuk dibayarkan kembali setelah tenaga kerja tersebut tidak lagi bekerja).
• Pendapatan yang siap dibelanjakan (DI)
Pendapatan yang siap dibelanjakan (Disposable Income) adalah pendapatan yang siap untuk dimanfaatkan guna membeli barang dan jasa konsumsi dan selebihnya menjadi tabungan yang disalurkan menjadi investasi. Disposable income ini diperoleh dari personal income (PI) dikurangi dengan pajak langsung. Pajak langsung (direct tax) adalah pajak yang bebannya tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, artinya harus langsung ditanggung oleh wajib pajak, contohnya pajak pendapatan.
Penghitungan
Jasa perbankan turut mempengaruhi besarnya pendapatan nasional
Pendapatan negara dapat dihitung dengan tiga pendekatan, yaitu:
• Pendekatan pendapatan, dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan (upah, sewa, bunga, dan laba) yang diterima rumah tangga konsumsi dalam suatu negara selama satu periode tertentu sebagai imbalan atas faktor-faktor produksi yang diberikan kepada perusahaan.
• Pendekatan produksi, dengan cara menjumlahkan nilai seluruh produk yang dihasilkan suatu negara dari bidang industri, agraris, ekstraktif, jasa, dan niaga selama satu periode tertentu. Nilai produk yang dihitung dengan pendekatan ini adalah nilai jasa dan barang jadi (bukan bahan mentah atau barang setengah jadi).
• Pendekatan pengeluaran, dengan cara menghitung jumlah seluruh pengeluaran untuk membeli barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara selama satu periode tertentu. Perhitungan dengan pendekatan ini dilakukan dengan menghitung pengeluaran yang dilakukan oleh empat pelaku kegiatan ekonomi negara, yaitu: Rumah tangga (Consumption), pemerintah (Government), pengeluaran investasi (Investment), dan selisih antara nilai ekspor dikurangi impor (X − M)
Manfaat
Selain bertujuan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu negara dan untuk mendapatkan data-data terperinci mengenai seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara selama satu periode, perhitungan pendapatan nasional juga memiliki manfaat-manfaat lain, diantaranya untuk mengetahui dan menelaah struktur perekonomian nasional. Data pendapatan nasional dapat digunakan untuk menggolongkan suatu negara menjadi negara industri, pertanian, atau negara jasa. Contohnya, berdasarkan pehitungan pendapatan nasional dapat diketahui bahwa Indonesia termasuk negara pertanian atau agraris, Jepang merupakan negara industri, Singapura termasuk negara yang unggul di sektor jasa, dan sebagainya.
Disamping itu, data pendapatan nasional juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya kontribusi berbagai sektor perekomian terhadap pendapatan nasional, misalnya sektor pertanian, pertambangan, industri, perdaganan, jasa, dan sebagainya. Data tersebut juga digunakan untuk membandingkan kemajuan perekonomian dari waktu ke waktu, membandingkan perekonomian antarnegara atau antardaerah, dan sebagai landasan perumusan kebijakan pemerintah.
Faktor yang memengaruhi
• Permintaan dan penawaran agregat
Permintaan agregat menunjukkan hubungan antara keseluruhan permintaan terhadap barang-barang dan jasa sesuai dengan tingkat harga. Permintaan agregat adalah suatu daftar dari keseluruhan barang dan jasa yang akan dibeli oleh sektor-sektor ekonomi pada berbagai tingkat harga, sedangkan penawaran agregat menunjukkan hubungan antara keseluruhan penawaran barang-barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan dengan tingkat harga tertentu.
Konsumsi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan nasional
Jika terjadi perubahan permintaan atau penawaran agregat, maka perubahan tersebut akan menimbulkan perubahan-perubahan pada tingkat harga, tingkat pengangguran dan tingkat kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Adanya kenaikan pada permintaan agregat cenderung mengakibatkan kenaikan tingkat harga dan output nasional (pendapatan nasional), yang selanjutnya akan mengurangi tingkat pengangguran. Penurunan pada tingkat penawaran agregat cenderung menaikkan harga, tetapi akan menurunkan output nasional (pendapatan nasional) dan menambah pengangguran.
• Konsumsi dan tabungan
Konsumsi adalah pengeluaran total untuk memperoleh barang-barang dan jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun), sedangkan tabungan (saving) adalah bagian dari pendapatan yang tidak dikeluarkan untuk konsumsi. Antara konsumsi, pendapatan, dan tabungan sangat erat hubungannya. Hal ini dapat kita lihat dari pendapat Keynes yang dikenal dengan psychological consumption yang membahas tingkah laku masyarakat dalam konsumsi jika dihubungkan dengan pendapatan.
• Investasi
Pengeluaran untuk investasi merupakan salah satu komponen penting dari pengeluaran agregat.


III. KESIMPULAN

Neraca pembayaran suatu negara adalah catatan yang sistematis tentang transaksi ekonomi internasional antara penduduk negara itu dengan penduduk negara lain dalam jangka waktu tertentu. Atau NPI adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang seluruh aktivitas ekonomi yang meliputi perdagangan barang/jasa, transfer keuangan dan moneter antara penduduk (resident) suatu negara dan penduduk luar negeri (rest of the world) untuk suatu periode waktu tertentu, biasanya satu tahun. Transaksi ekonomi tersebut diklasifikasikan ke dalam transaksi berjalan, transaksi modal, dan lalu lintas moneter. Transaksi berjalan terdiri atas ekspor ataupun impor barang dan jasa, sedangkan transaksi modal terdiri atas arus modal sektor pemerintah ataupun swasta, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Lalu lintas moneter adalah perubahan dalam cadangan devisa. Dengan demikian, neraca pembayaran memberikan gambaran arus penerimaan dan pengeluaran devisa serta perubahan neto cadangan devisa. Sedangkan menurut Balance of Payments Manual (BPM) yang diterbitkan oleh IMF (1993) pendapatan nasional merupakan penjumlahan biaya hidup (konsumsi) selama setahun. Namun, pendapat tersebut tidak disepakati oleh para ahli ekonomi modern, sebab menurut pandangan ilmu ekonomi modern, konsumsi bukanlah satu-satunya unsur dalam perhitungan pendapatan nasional. alat utama sebagai pengukur kegiatan perekonomian adalah Produk Nasional Bruto (Gross National Product, GNP), yaitu seluruh jumlah barang dan jasa yang dihasilkan tiap tahun oleh negara yang bersangkutan diukur menurut harga pasar pada suatu negara dan GDP

SUMBER :
http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_nasional
http://id.wikipedia.org/wiki/Neraca_pembayaran