Rabu, 23 Maret 2011

SEKTOR PERTANIAN

BAB I
Pendahuluan

Menghangatnya kembali diskursus globalisasi dalam bangsa yang aneh
ini, cukup tepat untuk direspon, karena sejatinya struktur dan cultur bangsa
ini masih patut dipertanyakan kelayakan dan kesiapannya dalam menghadapi
globalisasi. Kenapa bangsa ini dikatakan aneh? Karena bangsa yang secara
sah telah menyatakan keterlibatannya dalam globalisasi (baca: perdagangan
bebas) ini masih tetap tampak santai dan tidak responsif atas manuper politik
negara pesaing pra-globalisasi. Borok dan kelemahan bangsa yang masih
kentara disana sini, baik pada human capital, supporting institution, maupun
natural resources sepertinya enggan untuk dieliminasi oleh para pelaku
kebijakan.
Anehnya lagi, diskursus globalisasi di Indonesia pada kenyataannya
hanya marak pada tataran wacananya, sementara pasca legalisasi, entitas
ekonomi ini “sepi” seperti tidak mengerti atas substansi dan implikasi
globalisasi. Mungkinkah bangsa ini terlalu pede dengan kekayaan alamnya,
atau jangan-jangan kita ini memang terkena sindrom local community AIDS
(Stohr, 1990). Tetapi “Tidak” kata para ekonom, karena sesungguhnya
globalisasi memberikan peluang yang sama kepada semua negara (kayamiskin,
utara-selatan, timur-barat, dsb) untuk menjadi kuat dan kaya. Tetapi
harus ingat kata para sosiolog, bahwa globalisasi yang berpijak di atas
kapitalisme juga berpeluang bagi meningkatnya kesenjangan dalam relasi
dualisme tersebut.
Indonesia adalah negara kaya raya, untuk itu wajar jika eksistensinya
akan selalu menjadi pusat perhatian dan perburuan negara maju yang miskin
sumberdaya alam. Indonesia diprediksi mampu menjadi negara terkaya Ke-5
di dunia, jika mampu menggali secara optimal dan mengatur pengeluarannya
(Pikiran Rakyat, 8 April 2004). Optimisme tersebut jauh sebelumnya pun
diketahui semua negara maju, untuk itu mereka yang merasa terancam akan
senantiasa menciptakan kondisi dan situasi yang tidak mendukung ke arah
itu. Instabilitas politik dan eksploitasi sumberdaya dalam mendorong
kelangkaan akan semakin menggejala di era globalisasi.
Indonesia adalah ladang investasi yang potensial. Oleh karena itu neokolonialisme
akan senantiasa mencengkram. Jika strateginya tidak bisa
seperti Spanyol yang membabat habis Suku Indian, atau Inggris atas Suku
Aborigin, maka mereka akan mengandalkan TNCs dan kaum borjuis puritan
untuk menguasai Indonesia. Agar kita tidak menjadi budak, buruh, kuli.
Untuk itu, kita harus memahami secara pasti arus pemikiran
globalisasi yang sesungguhnya, termasuk implikasi jangka pendek dan jangka panjangnya

BAB II
ISI
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa difahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekedar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.
Bagian terbesar penduduk dunia bermata pencaharian dalam bidang-bidang di lingkup pertanian, namun pertanian hanya menyumbang 4% dari PDB dunia. Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2002, bidang pertanian di Indonesia menyediakan lapangan kerja bagi sekitar 44,3% penduduk meskipun hanya menyumbang sekitar 17,3% dari total pendapatan domestik bruto.
Kelompok ilmu-ilmu pertanian mengkaji pertanian dengan dukungan ilmu-ilmu pendukungnya. Inti dari ilmu-ilmu pertanian adalah biologi dan ekonomi. Karena pertanian selalu terikat dengan ruang dan waktu, ilmu-ilmu pendukung, seperti ilmu tanah, meteorologi, permesinan pertanian, biokimia, dan statistika, juga dipelajari dalam pertanian. Usaha tani (farming) adalah bagian inti dari pertanian karena menyangkut sekumpulan kegiatan yang dilakukan dalam budidaya. Petani adalah sebutan bagi mereka yang menyelenggarakan usaha tani, sebagai contoh "petani tembakau" atau "petani ikan". Pelaku budidaya hewan ternak (livestock) secara khusus disebut sebagai peternak.
Cakupan pertanian
Pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup (termasuk tanaman, hewan, dan mikrobia) untuk kepentingan manusia. Dalam arti sempit, pertanian juga diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan sebidang lahan untuk membudidayakan jenis tanaman tertentu, terutama yang bersifat semusim.
Usaha pertanian diberi nama khusus untuk subjek usaha tani tertentu. Kehutanan adalah usaha tani dengan subjek tumbuhan (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang setengah liar atau liar (hutan). Peternakan menggunakan subjek hewan darat kering (khususnya semua vertebrata kecuali ikan dan amfibia) atau serangga (misalnya lebah). Perikanan memiliki subjek hewan perairan (termasuk amfibia dan semua non-vertebrata air). Suatu usaha pertanian dapat melibatkan berbagai subjek ini bersama-sama dengan alasan efisiensi dan peningkatan keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek konservasi sumber daya alam juga menjadi bagian dalam usaha pertanian.
Semua usaha pertanian pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi sehingga memerlukan dasar-dasar pengetahuan yang sama akan pengelolaan tempat usaha, pemilihan benih/bibit, metode budidaya, pengumpulan hasil, distribusi produk, pengolahan dan pengemasan produk, dan pemasaran. Apabila seorang petani memandang semua aspek ini dengan pertimbangan efisiensi untuk mencapai keuntungan maksimal maka ia melakukan pertanian intensif (intensive farming). Usaha pertanian yang dipandang dengan cara ini dikenal sebagai agribisnis. Program dan kebijakan yang mengarahkan usaha pertanian ke cara pandang demikian dikenal sebagai intensifikasi. Karena pertanian industrial selalu menerapkan pertanian intensif, keduanya sering kali disamakan.
Sisi yang berseberangan dengan pertanian industrial adalah pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Pertanian berkelanjutan, dikenal juga dengan variasinya seperti pertanian organik atau permakultur, memasukkan aspek kelestarian daya dukung lahan maupun lingkungan dan pengetahuan lokal sebagai faktor penting dalam perhitungan efisiensinya. Akibatnya, pertanian berkelanjutan biasanya memberikan hasil yang lebih rendah daripada pertanian industrial.
Pertanian modern masa kini biasanya menerapkan sebagian komponen dari kedua kutub "ideologi" pertanian yang disebutkan di atas. Selain keduanya, dikenal pula bentuk pertanian ekstensif (pertanian masukan rendah) yang dalam bentuk paling ekstrem dan tradisional akan berbentuk pertanian subsisten, yaitu hanya dilakukan tanpa motif bisnis dan semata hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau komunitasnya.
Sebagai suatu usaha, pertanian memiliki dua ciri penting: selalu melibatkan barang dalam volume besar dan proses produksi memiliki risiko yang relatif tinggi. Dua ciri khas ini muncul karena pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Beberapa bentuk pertanian modern (misalnya budidaya alga, hidroponika) telah dapat mengurangi ciri-ciri ini tetapi sebagian besar usaha pertanian dunia masih tetap demikian.
Sejarah singkat pertanian dunia
Daerah "bulan sabit yang subur" di Timur Tengah. Di tempat ini ditemukan bukti-bukti awal pertanian, seperti biji-bijian dan alat-alat pengolahnya.
Domestikasi anjing diduga telah dilakukan bahkan pada saat manusia belum mengenal budidaya (masyarakat berburu dan peramu) dan merupakan kegiatan peternakan yang pertama kali.
Kegiatan pertanian (budidaya tanaman dan ternak) merupakan salah satu kegiatan yang paling awal dikenal peradaban manusia dan mengubah total bentuk kebudayaan. Para ahli prasejarah umumnya bersepakat bahwa pertanian pertama kali berkembang sekitar 12.000 tahun yang lalu dari kebudayaan di daerah "bulan sabit yang subur" di Timur Tengah, yang meliputi daerah lembah Sungai Tigris dan Eufrat terus memanjang ke barat hingga daerah Suriah dan Yordania sekarang. Bukti-bukti yang pertama kali dijumpai menunjukkan adanya budidaya tanaman biji-bijian (serealia, terutama gandum kuna seperti emmer) dan polong-polongan di daerah tersebut. Pada saat itu, 2000 tahun setelah berakhirnya Zaman Es terakhir di era Pleistosen, di dearah ini banyak dijumpai hutan dan padang yang sangat cocok bagi mulainya pertanian. Pertanian telah dikenal oleh masyarakat yang telah mencapai kebudayaan batu muda (neolitikum), perunggu dan megalitikum. Pertanian mengubah bentuk-bentuk kepercayaan, dari pemujaan terhadap dewa-dewa perburuan menjadi pemujaan terhadap dewa-dewa perlambang kesuburan dan ketersediaan pangan.
Teknik budidaya tanaman lalu meluas ke barat (Eropa dan Afrika Utara, pada saat itu Sahara belum sepenuhnya menjadi gurun) dan ke timur (hingga Asia Timur dan Asia Tenggara). Bukti-bukti di Tiongkok menunjukkan adanya budidaya jewawut (millet) dan padi sejak 6000 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Asia Tenggara telah mengenal budidaya padi sawah paling tidak pada saat 3000 tahun SM dan Jepang serta Korea sejak 1000 tahun SM. Sementara itu, masyarakat benua Amerika mengembangkan tanaman dan hewan budidaya yang sejak awal sama sekali berbeda.
Hewan ternak yang pertama kali didomestikasi adalah kambing/domba (7000 tahun SM) serta babi (6000 tahun SM), bersama-sama dengan domestikasi kucing. Sapi, kuda, kerbau, yak mulai dikembangkan antara 6000 hingga 3000 tahun SM. Unggas mulai dibudidayakan lebih kemudian. Ulat sutera diketahui telah diternakkan 2000 tahun SM. Budidaya ikan air tawar baru dikenal semenjak 2000 tahun yang lalu di daerah Tiongkok dan Jepang. Budidaya ikan laut bahkan baru dikenal manusia pada abad ke-20 ini.
Budidaya sayur-sayuran dan buah-buahan juga dikenal manusia telah lama. Masyarakat Mesir Kuna (4000 tahun SM) dan Yunani Kuna (3000 tahun SM) telah mengenal baik budidaya anggur dan zaitun.

situasi sektor pertanian Indonesia, fakta-fakta bahwa kondisi pertanian di Indonesia belum menggembirakan. Beberapa indikatornya adalah sbb :
Sebagian besar penduduk miskin adalah tinggal di wilayah pedesaan dimana umumnya terlibat dalam kegiatan pertanian. Mengutip data BPS tahun 2007, penulis bahkan menyebut sekitar 72% kelompok petani miskin adalah dari subsektor pertanian pangan.
• Konversi lahan pertanian, pada 2002 mencapai 110 ribu ha, dan empat tahun kemudian meningkat menjadi 145 ribu ha
• Penulis mengutip data FAO tentang pertumbuhan subsektor pangan tahun 2004 yang mengalami kemunduran dibanding tahun 1978 sampai 1986 (tapi tidak dijelaskan lebih lanjut satuan pertumbuhan subsektor ini maknanya apa. What does the number mean?)
• Penduduk Indonesia yang terus berkembang dan berkembang, sehingga menurut penulis akan semakin serius tantangannya
• Kebijakan impor beras premium yang terus dilakukan, padahal kita punya beras berkualita sama seperti beras cianjur dan IR-64
• Produktivitas pekerja pertanian lebih rendah daripada pekerja sektor industri, baik di tahun 1997 maupun 2005. Pada tahun 1997, seorang pekerja sektor pertanian menghasilkan output senilai Rp 1,7 juta per tahun, sementara pekerja industri Rp 9,5 juta; tahun 2005 pekerja sektor pertanian dan industri nilai outputnya berturut-turut RP 6,1 juta dan Rp 41,1 juta
perekonomian di era globalisasi ini masih sama dengan era sebelumnya, yaitu bagaimana subjek dari perekonomian Indonesia, yaitu penduduk Indonesia sejahtera. Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang sangat besar, sekarang ada 235 juta penduduk yang tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jumlah penduduk yang besar ini menjadi pertimbangan utama pemerintah pusat dan daerah, sehingga arah perekonomian Indonesia masa itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

Berdasarkan pertimbangan ini, maka sektor pertanian menjadi sektor penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Seiring dengan berkembangnya perekonomian bangsa, maka kita mulai mencanangkan masa depan Indonesia menuju era industrialisasi, dengan pertimbangan sektor pertanian kita juga semakin kuat.

Seiring dengan transisi (transformasi) struktural ini sekarang kita menghadapi berbagai permasalahan. Di sektor pertanian kita mengalami permasalahan dalam meningkatkan jumlah produksi pangan, terutama di wilayah tradisional pertanian di Jawa dan luar Jawa. Hal ini karena semakin terbatasnya lahan yang dapat dipakai untuk bertani. Perkembangan penduduk yang semakin besar membuat kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan berbagai sarana pendukung kehidupan masyarakat juga bertambah. Perkembangan industri juga membuat pertanian beririgasi teknis semakin berkurang.

Selain berkurangya lahan beririgasi teknis, tingkat produktivitas pertanian per hektare juga relatif stagnan. Salah satu penyebab dari produktivitas ini adalah karena pasokan air yang mengairi lahan pertanian juga berkurang. Banyak waduk dan embung serta saluran irigasi yang ada perlu diperbaiki. Hutan-hutan tropis yang kita miliki juga semakin berkurang, ditambah lagi dengan siklus cuaca El Nino-La Nina karena pengaruh pemanasan global semakin mengurangi pasokan air yang dialirkan dari pegunungan ke lahan pertanian.

Sesuai dengan permasalahan aktual yang kita hadapi masa kini, kita akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri. Di kemudian hari kita mungkin saja akan semakin bergantung dengan impor pangan dari luar negeri. Impor memang dapat menjadi alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan kita, terutama karena semakin murahnya produk pertanian, seperti beras yang diproduksi oleh Vietnam dan Thailand. Namun, kita juga perlu mencermati bagaimana arah ke depan struktur perekonomian Indonesia, dan bagaimana struktur tenaga kerja yang akan terbentuk berdasarkan arah masa depan struktur perekonomian Indonesia.

Struktur tenaga kerja kita sekarang masih didominasi oleh sektor pertanian sekitar 42,76 persen (BPS 2009), selanjutnya sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20.05 persen, dan industri pengolahan 12,29 persen. Pertumbuhan tenaga kerja dari 1998 sampai 2008 untuk sektor pertanian 0.29 persen, perdagangan, hotel dan restoran sebesar 1,36 persen, dan industri pengolahan 1,6 persen.

Sedangkan pertumbuhan besar untuk tenaga kerja ada di sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa sebesar 3,62 persen, sektor kemasyarakatan, sosial dan jasa pribadi 2,88 persen dan konstruksi 2,74 persen. Berdasarkan data ini, sektor pertanian memang hanya memiliki pertumbuhan yang kecil, namun jumlah orang yang bekerja di sektor itu masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan sektor keuangan, asuransi, perumahan dan jasa yang pertumbuhannya paling tinggi.

Data ini juga menunjukkan peran penting dari sektor pertanian sebagai sektor tempat mayoritas tenaga kerja Indonesia memperoleh penghasilan untuk hidup. Sesuai dengan permasalahan di sektor pertanian yang sudah disampaikan di atas, maka kita mempunyai dua strategi yang dapat dilaksanakan untuk pembukaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia di masa depan.

Strategi pertama adalah melakukan revitalisasi berbagai sarana pendukung sektor pertanian, dan pembukaan lahan baru sebagai tempat yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia. Keberpihakan bagi sektor pertanian, seperti ketersediaan pupuk dan sumber daya yang memberikan konsultasi bagi petani dalam meningkatkan produktivitasnya, perlu dioptimalkan kinerjanya. Keberpihakan ini adalah insentif bagi petani untuk tetap mempertahankan usahanya dalam pertanian. Karena tanpa keberpihakan ini akan semakin banyak tenaga kerja dan lahan yang akan beralih ke sektor-sektor lain yang insentifnya lebih menarik.

Strategi kedua adalah dengan mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung bagi sektor lain yang akan menyerap pertumbuhan tenaga kerja Indonesia. Sektor ini juga merupakan sektor yang jumlah tenaga kerjanya banyak, yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran serta industri pengolahan. Sarana pendukung seperti jalan, pelabuhan, listrik adalah sarana utama yang dapat mengakselerasi pertumbuhan di sektor ini.

Struktur perekonomian Indonesia sekarang adalah refleksi dari arah perekonomian yang dilakukan di masa lalu. Era orde baru dan era reformasi juga telah menunjukkan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor penting yang membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Sektor pertanian juga menyediakan pangan bagi masyarakat Indonesia.

Globalisasi Pertanian dan Kesejahteraan Petani
Menurut Lowdermilk, usia pertanian sudah lebih dari 7.000 tahun. Pertanian (agriculture) didefinisikan sebagai usaha budi daya tanaman
atau ternak dalam bidang lahan yang tetap. Karena itu, kuncinya produktivitas yang bersumber dari inovasi teknologi yang diterapkan
pada bidang lahan tetap tersebut. Apabila teknologi yang diterapkan merusak maka pertanian bersifat merusak sistem ekologi alam.
Gurun pasir atau lahan-lahan kritis, sekarang, merupakan contoh peninggalan sistem pertanian yang merusak alam.
Perdagangan komoditas pertanian merupakan motor dari globalisasi hasil-hasil pertanian. Perdagangan ini menyertakan mobilitas
penduduk yang jumlahnya cukup besar untuk mengubah komposisi demografis penduduk di suatu wilayah. Di Indonesia, kita
menyaksikan pertanian padi yang konon bersumber dari Tiongkok dengan usia lebih dari 3.500 tahun.
Kemudian kita mengenal jagung, tembakau, kakao, kina, dan karet, yang berasal dari benua Amerika. Sedangkan kelapa sawit dan kopi berasal dari Afrika. Tanaman-tanaman tersebut hadir di Indonesia bersamaan dengan datangnya para penjelajah atau saudagar dunia, yang juga mencari berbagai macam barang dari Nusantara, khususnya rempah-rempah.
Para penjelajah Barat sebenarnya datang belakangan, yaitu setelah mereka bisa melintasi Tanjung Harapan. Bangsa Portugis, sebagai
pelopor penjelajahan ke Asia melalui Timur, datang dan menaklukkan Malaka pada 1511. Kemudian, secara bergelombang kita
menyaksikan hadirnya bangsa-bangsa Eropa yang lain hampir seratus tahun kemudian, yaitu Belanda, Inggris, Prancis, dan lain-lain. Kita
sering lupa bahwa betapa besar nilai rempah-rempah pada zamannya, sehingga, misalnya, Banda Neira dipertukarkan dari Inggris dengan
Manhattan (New York) yang dimiliki Belanda.
Latar belakang sejarah di atas penulis sampaikan sebagai bahan pemikiran bahwa pertanian yang kita kerjakan, sekarang, bukanlah hal
yang terjadi tiba-tiba tanpa melibatkan pergolakan ekonomi, politik dan militer secara global.
Bahkan, dengan mempelajari pertanian kita akan mendapatkan bahan pembelajaran bagaimana sebaiknya kita mengembangkan politik
nasional dengan memanfaatkan pertanian sebagai instrumennya.
Politik perkebunan pada dasarnya dirancang oleh kekuatan global pada masa awalnya untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah atau
bahan baku di negara asalnya. Kita hanyalah sebagai alatnya. Perlu kita sadari bahwa kalau kita katakan perkebunan berorientasi ekspor,
itu bukanlah hasil desain kita. Itu adalah hasil desain struktur ekonomi global yang begitu kuat, sehingga kita pun sering tidak
menyadarinya.
Salah satu indikator ketidakseimbangan pasar dalam menentukan pembagian margin dapat dilihat, antara lain, pada kopi, yaitu hanya
sekitar 10 persen dari retail added value margin yang diterima oleh negara-negara pengekspor. Hal serupa juga dapat diperkirakan
terjadi terhadap komoditas perkebunan lainnya (kecuali gula) mengingat status kita masih sebagai net importir.
Implikasi
Apa implikasinya terhadap perekonomian nasional kita? Kita perlu menyadari bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi global, khususnya yang dimainkan oleh perusahaan multinasional, merupakan instrumen global yang sangat besar perannya dalam menentukan mati-hidupnya pertanian kita.
Dalam bidang pangan, khususnya jagung, gandum, dan kedelai, sistem produksi dan pasarnya sudah dikuasai oleh perusahaan-
perusahaan multinasional yang mengakar di Eropa dan Amerika. Sistem produksi perkebunan, khususnya karet, walaupun industrinya
dikuasai oleh perusahaan multinasional, seperti Michelin, Bridgestone, dan Goodyear, hampir dapat dipastikan sulit dikembangkan di
negara maju mengingat satu kegiatan produksi primernya, yaitu menyadap getah karet, belum bisa dilakukan secara mekanisasi. Oleh
karena itu, posisi produksinya masih bisa kita kembangkan. Namun, untuk komoditas lainnya, termasuk kelapa sawit, kita harus berhati-
hati.
Posisi petani dengan jumlahnya yang besar perlu menjadi perhatian utama kita. Sistem politik-ekonomi global masa sekarang tampaknya mirip dengan apa yang pernah terjadi pada 1930-an, yaitu betapa miskin para petani di negara-negara berkembang, sekarang ini, mirip dengan posisi petani di negara-negara jajahan pada masa tersebut.
Apabila pada 1930-an lahir politik etis di Belanda dengan tema edukasi, irigasi, dan transmigrasi, maka politik etis global pada abad ke- 21 ini juga harus bisa dilahirkan kembali. Tanpa adanya politik etis global yang baru, yang bisa memberikan ruang kehidupan baru bagi negara-negara berkembang yang notabene bekas jajahan yang memerdekakan diri kurang-lebih 60 tahun yang lalu, struktur politik- ekonomi dunia sangatlah terbatas memberikan ruang-gerak untuk dapat dimanfaatkan sebagai sarana memperbaiki nasib para petani di negara-negara berkembang.
Model Revolusi Hijau ternyata belum cukup ampuh untuk mengubah nasib petani di negara-negara berkembang. Bahkan, mungkin hal sebaliknya yang terjadi, yaitu model ini lebih banyak memberikan keuntungan bagi perusahaan raksasa di negara-negara maju. Model bantuan luar negeri melalui berbagai jenis utang luar negeri, memang memberikan manfaat, tetapi lebih banyak manfaatnya mengalir ke luar dan para petani masih tetap miskin.
Kita perlu menciptakan model yang lebih baik, yang didasari oleh landasan etika politik-ekonomi yang lebih beradab. Hanya dengan ini
perubahan dunia ke arah yang lebih baik bagi para petani di negara-negara berkembang akan terwujud.

DAMPAK GLOBALISASI TERHADAP PERTANIAN
INDONESIA

Tinjaun Praxis Globalisasi
Globalisasi merupakan kontinum dari skenario idiologi dan mode
kapitalisme liberal yang embrionya telah lama dicetuskan oleh Adam Smith.
Efisiensi (profit maxization) adalah ruhnya, revolusi industri motornya, teknologi
dan institutional finance internasional (GATT, WTO, IMF) adalah medianya,
dan imperialisme/ kolonialisme awal perwujudannya. Pelaku utamanya
adalah kaum borjuis (the big bourgeoisie), yakni Trans National Corporation
(Althusser). Tujuannya adalah melanggengkan dominasi dengan menghindari
modus fisik melalui hegemoni, yakni dominasi (kolonialisme) perspektif dan
ideologi yang berbasis produksi ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Pada
perkembangannya, hegemoni berkembang dari Merkantisilme ke berbagai
aspek neo-kolonialisme (ekonomi, sosial, politik, dan budaya). Secara praktis
historis-empiris, pen-Spanyol-an Amerika merupakan dasar globalisasi tahap
pertama, lalu disusul dengan perang dingin (globalisasi idiologi). Sedangkan
Marshal Plan merupakan awal dari peng-Amerika-an dunia (globalisasi
ekonomi modern).
Secara teoretis globalisasi merupakan episodis dari teori evolusi (Hegel,
Comte, Darwin, Ricardo, Mill, Malthus) yang meyakini bahwa masyarakat
akan berkembang dari primitive ke modern, modernisasi seluaruh bangsa
(Rostow, McClelland, Inkeles), rekayasa sosial (social engineering) atau Social
Darwinisme (Spencer), pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem
ekonomi global (Fakih), pembiasan batas-batas sosial, ekonomi, idiologi,
politik, dan budaya suatu negara atau bangsa (Tjiptoherijanto), penghapusan
peta dunia (Naisbith, Huntington, dan Topler), development aid (Kruijer),
percepatan kapitalisme pasca krisis kapitalis di tahun 1930-an (Fakih), dan
basic need strategy (Grant).
Menurut Salim (1995), globalisasi mencakup lima unsur penting, yaitu:
1) globalisasi dalam perdagangan, yaitu dengan adanya AFTA, APEC, dan
WTO; 2) globalisasi investasi, dimana modal akan mengalir ke tempat yang
memberi banyak keuntungan; 3) globalisasi industri, dimana suatu barang
tidak hanya diproduksi pada suatu tempat akan tetapi dibanyak tempat; 4)
globalisasi teknologi, terutama teknologi di bidang informasi, telekomunikasi,
transportasi, dan sebagainya; dan 5) globalisasi konsumsi, dimana terjadi
peralihan dari pemenuhan kebutuhan (needs) kepada pemenuhan permintaan
(wants). Dengan demikian terjadi reduksi kedaulatan ekonomi suatu negara
oleh konvensi internasional.

Anatomi Globalisasi
Imperialisme dan kolonialisme sebagai embrio Globalisasi lahir dan
dibesarkan oleh kaum borjuis dengan berbagai modus (Gold, Glory, Gospel),
sedangkan Globalisasi dibesarkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa
(Trans Nasional Corporations) yang secara riil merupakan reinkarnasi kaum
borjuis yang paling diuntungkan oleh metode ekonomi tersebut. Adapun

modusnya adalah ekspansi produksi, ekspansi pasar, dan ekspansi investasi,
yang didesakkan lewat skema perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi.
Pendiriannya adalah kebijakan free market yang mendorong swasta dan
pilihan konsumen, penghargaan atas tanggungjawab personal dan inisiatif
kewiraswastaan, dan menyingkirkan birokrasi (parasit). Karena konstruksinya
menjalar dalam iklim kapitalisme, maka wajar jika dalam dua dasa warsa
(1970-1990) perusahaan TNCs meningkat secara menakjubkan dari 7000
menjadi 37000, dan menguasai 67% perdagangan dunia antar TNCs, 34,1%
total perdagangan global, dan menguasai 75% total investasi global. Secara
kelembagaan, patron-nya adalah WTO dan IMF (Word Bank), serta institusiinstitusi
ekonomi di tingkat regional dan nasional, dan secara politik
dipayungi oleh negara-negara maju (eks penjajah).
Menurut Fakih (2001), globalisasi pada hakekatnya bertumpu di atas
paham ekonomi neo-liberal. Para penganut ini percaya bahwa pertumbuhan
ekonomi akan dicapai dengan “kompetisi bebas”. Kompetisi yang agresif
merupakan implikasi dari trash bahwa “free market” adalah cara yang efisien
dan tepat untuk mengalokasikan sumberdaya alam yang langka untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Harga yang berlaku merupakan indikator
apakah sumberdaya yang ada masih berlimpah atau sudah langka. Harga
yang tinggi berarti sinyal positif bagi investasi. Implikasinya, mereka berusaha
keras untuk menciptakan berbagai kelangkaan sumberdaya di negara dunia
ketiga. Prosesnya dilakukan melalui invisible hand dan keluar dari
cengkraman kebijakan pemerintah. Oleh karena itu mereka memandang
proteksi, subsidi, dumping, paham keadilan sosial, kesejahteraan bagi rakyat,
kearifan lokal dan sebagainya sebagai patologi ekonomi neo-liberal. Untuk itu
mereka akan berusaha secara langsung maupun tidak langsung menghapus
berbagai kebijakan suatu negara yang dapat merintanginya.
Secara historis empiris, globalisasi lahir dari konsensus para pembela
ekonomi private terutama wakil-wakil dari perusahaan raksasa yang
menguasai dan mengontrol pasar dan ekonomi internasional serta memiliki
kekuasaan untuk mendominasi informasi (media massa) dalam membentuk
opini publik. Konsensus tersebut lebih dikenal dengan “The Neoliberal
Washington Consensus”. Pokok-pokok globalisasi meliputi: Pertama, bebaskan
perusahaan swasta dari camput tangan pemerintah (perburuhan, upah,
investasi, harga), biarkan mereka mempunyai otoritas; Kedua, hentikan
subsidi, longgarkan dan hilangkan kebijakan proteksi, lakukan privatisasi
atas BUMN; Ketiga, hapuskan kearifan lokal, pemilikan komunal,
kesejahteraan bersama, serahkan pengelolaan pada ahlinya (privatisasi)
jangan oleh masyarakat adat (lokal) karena tidak efisien (Fakih, 2001).
Internasionalisasi produksi dan penguasaan ruang dalam distribusi
sebagai gejala globalisasi diprakarsai lewat perubahan kebijakan
pembangunan nasional kearah integrasi dengan kebijakan internasional.
Pertanian (pangan) dan pertambangan (bahan bakar) merupakan dua sektor
yang menjadi fokus utama dari integrasi internasional, dan karena keduanya
merupakan determinan lahirnya globalisasi. Adapun idiologi dan politik, tidak
lebih hanya sekedar pembungkus dari want yang sesungguhnya bertumpu
pada natural resources. Inti dari globalisasi sesungguhnya tidak berbeda
dengan imperialisme atau kolonialisme, yaitu penguasaan bahan baku
(Malthus). Menurut Adam Smith, Singer, Arndt, dan Becker, jalan menuju
globalisasi adalah human capital.

Globalisasi Pertanian di Dunia
Globalisasi pertanian secara kausalistik muncul sebagai respon atas
tesis Malthus (1766-1834). Ini merupakan perwujudan dari idiologi
kapitalistik yang berkarakter efisiensi (profit maxization), competition for gain,
freedom, un-security, dan un-sustainability (sementara) yang eksis dalam
naungan prudence atau the invisible hand (Adam Smith). Un-security inilah
yang mendorong revolusi industri, pencarian dan penaklukkan, imperialisme
atau kolonialisme di dunia, dan penemuan lewat rekayasa genetik. Pada
dasarnya, un-security-lah yang melandasi semangat evolusi, dan social
darwinisme.
Pada perkembangannya, tesis Malthus bersimbiosis dengan keyakinan
dan mitos efficiency sebagai satu-satunya prinsip dasar yang harus
dipergunakan dalam pengelolaan lingkungan alam, ekonomi, dan berbangsa.
Mitos tersebut kemudian berlanjut pada mitos lain, bahwa hanya Trans
National Corporations (TNC) yang memiliki jaringan pemasaran internasional
yang sudah mapan-lah yang paling efisien, dan oleh karenanya TNC lah yang
dipercaya dan ditaklidi sebagai pihak yang paling berhak sebagai penyedia
pangan dunia.
Meningkatnya ketakutan akan kelangkaan pangan dan bahan baku
mendorong Rockefeller dan Ford Foundations terjun ke sektor pertanian.
Melalui US Agency for International Development (USAID), pada tahun 1960-
an memunculkan konsep pembangunan pertanian yang kelak menjadi hantu
bagi para petani, yaitu Green Revolution (IPFRI, 2003). Setelah itu muncul
International Rice Research Institute (IRRI), Center for Maize and Wheat
Improvement (CYMMIT), hingga Putaran Uruguay, GATT, WTO, IMF, APEC,
dan sebagainya. Secara substansial, klaim kekuasaan atas bio diversity dan
berbagai inovasi dituangkan dalam lembaga Hak Paten dan Hak Atas
Kekayaan Intelektual (HAKI). Klaim kekuasaan pasar dilembagakan dalam
bentuk Kartel, Standar Internasional, bahkan Undang-Undang Bio-terorisme.
Semakin kuatnyanya TNCs, maka semakin memonopoli inovasi dan
pasar. Berbagai macam sarana produksi, mulai dari benih, alat mesin
pertanian, pestisida, modal, dan kriteria pasar dimonopoli oleh TNCs melalui
undang-undang Hak Paten. Ini merupakan skenario pemusnahan kearifan
dan sumberdaya lokal. Negara-negara dunia ketiga harus tunduk pada
mekanisme TNCs, jika ingin menembus pasar internasional. Sangat sadis,
karena segalanya menjadi ketergantungan atas input luar, inilah yang disebut
dengan “Total Konsumen”. Sekalipun ada penyerahan proses produksi,
namun tidak lantas mendudukkan petani di negara dunia ketiga menjadi
produsen, karena sifatnya hanya melakukan titah (budak) “ngorder atau
ngemaklun” yang posisi tawarnya serba lemah dalam segala hal.

Globalisasi Pertanian di Indonesia
Genderang globalisasi pertanian di Indonesia sesungguhnya telah
dimulai sejak pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan
hongitochten, yaitu cara perdagangan monopoli yang disertai dengan
penghancuran kebun-kebun/hutan-hutan rempah penduduk yang berani
menyaingi monopoli perdagangan tersebut (Satari, 1999). Pada tahun 1830
globalisasi semakin kentara dengan diterapkannya kebijakan tanam paksa
(cultuurstelsel). Tanah sebagai sumberdaya alam yang penting dikuasai oleh
Pemerintah Kerajaan Belanda yang di desa diwakili Kepala Desa dan
dipinjamkan kepada petani, dan petani harus membayarnya. Pada tahun
1870 Pemerintah Kerajaan Belanda memberlakukan Undang-Undang Agraria
(Agrarische) sebagai pelumas masuknya modal swasta Eropa sebagai tonggak
pertanian modern (estate). Rakyat pedesaan yang semula merupakan petani
mandiri berubah status menjadi buruh perkebunan, dan berakhir di awal
abad ke 19 (VOC bangkrut).
Globalisasi pertanian di Indonesia memuncak pada era 1970-an, ketika
program Revolusi Hijau (Green Revolusion) intens diintroduksikan. Berbagai
input luar produk dari perusahaan-perusahaan TNCs dipaksakan kepada
petani untuk diterapkan. Puncaknya tercapai tahun 1985, yaitu swasembada
beras. Setelah itu intensitas dan eskalasi pasar input luar semakin menggila
seiring dengan dikembangkannya konsepsi agribisnis.
Di penghujung abad 20, kebijakan ekonomi makro Indonesia semakin
jelas tepolarisasi pada pertumbuhan. Implikasinya, alokasi sumberdaya
untuk pembangunan pertanian tergeser oleh sektor manufaktur sebagai
sektor prioritas. Dengan demikian, pembangunan yang selayaknya
“agriculture-led” menjadi di dominasi oleh pembangunan yang bersifat
“manufacturing industries-led”.
Meningkatnya respon negatif dari berbagai kalangan atas dampak
negatif program Revolusi Hijau tidak lantas membuat TNCs terhenti. Melalui
sosialisasi pada berbagai ruang publik, TNCs pun dapat melangkah dengan
mulus lewat pendekatan Agribisnis. Lewat pendekatan inilah senyatanya
TNCs dapat dengan mudah mengintegrasikan pasar nasional kedalam pasar
internasional yang dikuasai dan dikontrolnya. Melalui pendekatan Agribisnis
dominasi TNCs diperhalus dengan menghadirkan keragaman istilah yang
sepertinya berbau pemerataan, seperti Contrac Farming, Kemitraan (PIR, TRI),
Rice Estate, Corporate Farming, dan sebagainya. Dengan demikian,
perbudakan dan pemarginalan petani menjadi tidak kentara. Secara sosial
praktis, TNCs pun menjadi baking para petani berdasi dalam segala hal. Ini
merupakan praktik efisiensi yang perlahan namun pasti akan menyingkirkan
para petani kecil (fenomenanya dapat kita saksikan pada usahatani sayuran
di Dataran Tinggi, poultryshop, dsb)

Dampak Globalisasi Pertanian
Globalisasi secara teoretis penuh dengan tuntutan atas negara-negara
yang ingin (dipaksa harus) terlibat, seperti mengendurkan bea masuk,
mengendurkan proteksi, mengurangi subsidi, memangkas regulasi eksporimpor,
perburuhan, investasi, dan harga, serta melakukan privatisasi atas
perusahaan milik negara. Kondisi tersebut tidak akan banyak membawa
produk-produk lokal ke pasar internasional. Sekalipun perusahaanperusahaan
TNCs dibebani tanggungjawab sosial, namun fenomenanya tidak
akan jauh berbeda dengan pola kemitraan atau contrac farming yang pada
hakekatnya bermodus eksploitasi.
Syarat-syarat yang ditetapkan sesungguhnya merupakan perangkap
yang sulit ditembus oleh negara dunia ketiga. Kecenderungannya akan
mempercepat proses penurunan daya saing produk lokal. Pada
perkembangnnya, segala sesuatu yang berbau lokal akan melemah dan
hilang. Mahatir (Kompas, 5/2/2004) berpendapat bahwa pengintegrasian
perekonomian dunia hanya akan membawa malapetaka bagi negara
berkembang. Itu bukan hanya merusak ekonomi lokal, tetapi juga akan
menciptakan perlambatan ekonomi, anarki ekonomi, dan kekacauan sosial
(social chaos).
Mander, Barker, dan Korten (2003) menyatakan bahwa globalisasi
ekonomi justru menciptakan kondisi sebaliknya dari klaim para
penganjurnya. Kegagalan itu tidak hanya disuarakan oleh oposisi tetapi juga
oleh para pendukungnya. UNDP (1999) melaporkan bahwa ketimpangan antar
petani kaya dengan petani miskin semakin meluas setelah diberlakukannya
globalisasi. Adalah sistem perdagangan dan sistem keuangan global sebagai
biang keroknya. Menurut CIA, globalisasi tidak menyentuh kaum miskin,
termasuk petani gurem (peasant) yang jumlahnya sangat dominan di
Indonesia.
Globalisasi cenderung menghancurkan tatanan dan modal-modal
sosial. Meskipun gagasannya dituangkan dalam kerangka pemberdayaan
masyarakat sebagai penampakan corporate social responsibility TNCs, namun
hasilnya tetap tidak pernah terwujud. Menurut Pollnac (1988) dan Garkovich
(1989), menghadirkan sebuah lembaga baru dalam suatu masyarakat dengan
maksud memotong struktur hubungan atau jaringan (sosial, komunikasi,
kerja) yang telah terpola atau berlangsung mapan, merupakan skenario yang
tidak mengindahkan karakteristik sosio-budaya dan pranata lokal, dan
dengan ini kegagalan bisa terjadi. Hasil penelitian FAO atas negara-negara
yang mengimplementasikan kesepakatan putaran uruguay di 16 negara
menunjukkan telah terjadinya trend konsentrasi pertanian yang jelas
berakibat pada marginalisasi petani kecil, meningkatnya pengangguran dan
angka kemiskinan.
Impor berbagai produk dan bahan baku pertanian kian hari kian
meningkat. Meskipun jumlah produk pertanian yang diekspor dan dipasarkan
di pasar domestik jauh lebih tinggi daripada impor, namun selisih nilainya
hanya 2 persen (Khudori, 2003). Nilai 2 persen sesungguhnya tidak berarti,
karena jika dianalisis, nilai transaksi berjalan produk pertanian Indonesia itu
sesungguhnya devisit. Betapa tidak, produk pertanian yang diekspor oleh
Indonesia sesungguhnya adalah produk yang padat dengan input luar
(impor). Keunggulan produk tersebut jelas sangat bersifat kompetitif semu
(shadow competitivenes). TNCs sebagai pihak yang paling tahu akan efisiensi
memandang bahwa proses produksi usahatani (on-farm) sangat rentan
terhadap risiko dan ketidakpastian, untuk itu ia menerapkan strategi
kemitraan atau contarc farming.
Memang sebagai “pemaklun” yang sangat ketergantungan, petani
Indonesia masih merasakan keuntungan. Sebagaimana dikatakan Evans
(1979) dan Warren (1980), negara ketiga bisa menikmati kemajuan meskipun
berada dalam kondisi ketergantungan, suatu proses yang disebutnya sebagai
“dependent development”. Namun keuntungan tersebut jauh lebih rendah
dibandingkan dengan biaya dan kerugian yang harus ditanggung, seperti
gangguan kesehatan, pencemaran lingkungan, serta risiko dan ketidakpastian
lainnya.
Dampak yang paling kentara adalah terjadinya “kemandegan inovasi”
dalam seluruh sistem agribisnis. Ini merupakan implikasi dari
ketergantungan pada produk-produk impor. Pemikiran efisiensi yang diadopsi
secara mentah-mentah telah menyebabkan bangsa yang kaya akan
sumberdaya ini jatuh pada budaya instan dan malas. Produk-produk yang
senyatanya dapat diproduksi di dalam negeri didatangkan dari luar hanya
karena alasan murah. Para pelaku importir yang sesungguhnya merupakan
perpanjangan tangan dari TNCs dapat dengan mudah mendatangkan produkproduk
dari luar karena longgarnya regulasi ekspor-impor. Dampak
budayanya adalah melemahnya penghargaan atas produk-produk lokal,
sebagai akibat dari berkembangnya budaya konsumerisme yang kebaratbaratan
(western). Kondisi ini jelas sangat menguntungkan TNCs, karena
secara perlahan inovasi lokal tercerabut dari budayanya. Ini merupakan
peluang besar bagi investasi.
Dampak lainnya adalah tidak berperannya kelembagaan-kelembagaan
pendukung pertanian lokal. Hal ini terjadi karena TNCs selaku pihak yang
kuasa, telah memasok segala kebutuhan petani (buruh) secara langsung. Ini
pun merupakan rangkaian dari upaya untuk mengurangi campur tangan
pemerintah. Pada kondisi seperti ini, kreativitas dan keinovatifan
kelembagaan pendukung pertanian pemerintah malah menjadi mandul.
Pada ujungnya, globalisasi membawa seluruh warga dunia ke situasi
yang serba spekulatif. Meningkatnya dominasi dan persaingan tidak menutup
kemungkinan akan mendorong pihak yang lemah untuk menerapkan strategi
picik, seperti polusi dan kekacauan pasar (market chaos), instabilitas dan
polusi politik, penghancuran komoditas lewat penyebaran virus secara
terencana, social chaos, dan pembentukan opini publik.
Bagaimana sikap kita? Menurut Scott (1983), suatu perlakuan tidak
adil akan dianggap eksploitatif oleh pihak yang berada dalam kondisi rawan
subsistensi bila: 1) kerangka legitimasi atas perlakuan tersebut memang tidak
bisa diterimanya, dan 2) tersedia alternatif status selevel atau lebih rendah
yang bisa menampungnya bila ia terpaksa meninggalkan hubungan yang
tidak adil tersebut. Celakanya, kita sudah meratifikasi perjanjian
perdagangan bebas tersebut, lalu apa yang perlu kita lakukan?
Jika mencari perimbangan dampak positif Globalisasi bagi negaranegara
dunia ketiga, jelas sangat kecil dibandingkan dengan dampak
negatifnya. Sama seperti halnya dengan mekanisme kolonilasime, dampak
positifnya paling banter politik etis (pembangunan fisik). Kalaupun dilakukan
melalui peningkatan sumberdaya manusia tidak lebih sekedar untuk
melanggengkan dominasi power dan mengeksploitasi budaya. Tetapi yang
pasti memberi peluang yang besar untuk memunculkan tandingan atau
komparasinya, yaitu lokalisasi (localism). Menurut Collin Hines (2000) dalam
bukunya “Localization: The Global Manifesto”, globalisasi bukanlah pemberian
tuhan, artinya ia dapat diralat ke arah teologi baru globalisasi dengan lebih
memberi tempat kepada pahan localism yang melindungi dan membangun
kembali ekonomi lokal.
Gagasan Hines yang mengetengahkan Protect the Local Globally atau
pendekatan berbasis lokalita memang lebih memberdayakan. Namun itu saja
tidak cukup, karena untuk meningkatkan daya saing produk pertanian
Indonesia di pasar domestik maupun internasional seperti sekarang ini, perlu
disertai dengan inovasi pada sistem pembangunan pertanian secara
keseluruhan.




BAB III
KESIMPULAN

Saat ini kita mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan kebijakan yang dapat membentuk struktur perekonomian Indonesia di masa depan. Namun, beberapa permasalahan yang dihadapi sektor pertanian di masa ini perlu segera dibenahi, sehingga kita dapat meneruskan hasil dari kebijakan perekonomian Indonesia yang sudah dibangun puluhan tahun lalu, dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sampai saat sekarang ini,
Globalisasi telah berdampak luas pada pertanian di negara-negara
dunia ketiga. Ketimpangan, kemiskinan, dan ketergantungan pada berbagai
input luar adalah bukti konkritnya. Pencabutan subsidi, privatisasi
sumberdaya dan institusi pemerintah, longgarnya kran impor sebagai
prasyarat untuk ekspor, lenyapnya berbagai sumberdaya dan budaya lokal,
membiasnya pemberdayaan, dan mandegnya inovasi merupakan dampak
langsung dari globalisasi. Lemahnya kondisi internal dan kuatnya
cengkraman internasional merupakan sinergi penghancuran kearifan lokal di
negara dunia ketiga. Keberanian dan keberdayaan berinovasi
mengembangkan sumberdaya lokal (localism) merupakan kunci untuk
membangun kembali jati diri bangsa. Mengglobalkan inovasi lokal merupakan
indikator keberdayaan bangsa.


SUMBER : 1) http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/dampak_globalisasi_terhadap_pertanian_indonesia.

2) http://www.scribd.com/doc/8009743/Globalisasi-Pertanian-Dan-Kesejahteraan-Petani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar